Sabda Rasulullah saw. "Sebaik-baik pemimpin kalian ialah yang kalian mencintainya dan dia mencintai kalian. Dia mendoakan kebaikan kalian dan kalian mendoakannya kebaikan. Sejelek-jelek pemimpin kalian ialah yang kalian membencinya dan ia membenci kalian. Kalian mengutuknya dan ia mengutuk kalian."
Kita semua sudah paham, dalam sekumpulan orang, seorang pemimpin harus dipilih.
Dan biasanya orang memilih pemimpin mereka dengan kriteria sang pemimpin adalah orang yang dipandang lebih smart, lebih pintar, lebih mampu, lebih mengetahui, lebih kaya, lebih berkuasa,......lebih cakep, lebih berwibawa, lebih berani, lebih preman, dll. Artinya sang pemimpin memiliki nilai tambah dibanding anggota kelompok lainnya.
Lalu, siapa sih sebenarnya pemimpin itu ?
Siapakah yang disebut pemimpin itu? Pemimpin adalah orang yang diikuti orang lain. Orang lain mau mengikuti si pemimpin karena punya alasan-alasan tertentu. Secara umum, alasan itu antara lain karena si pemimpin itu dipandang lebih mampu, lebih tahu, lebih senior, lebih berkuasa, lebih ahli, lebih bagus, lebih tinggi, dan seterusnya. Artinya, seseorang akan ditunjuk, diangkat, atau dipersilahkan untuk menjadi pemimpin karena dipandang punya nilai "plus".
Ketika seseorang tidak sedang menjadi makhluk individual semata (baca: menjadi makhluk sosial juga), semua orang butuh pemimpin. Seluruh isi rumah tangga butuh pemimpin, teamwork butuh pemimpin, kelompok butuh pemimpin, dan seterusnya. Bahkan ada pengarahan yang menyarankan seperti ini: "Jika engkau sedang menyelesaikan persoalan atau mengemban tugas bersama orang lain (minimalnya satu orang), maka sepakatilah untuk menunjuk seorang pemimpin di antara kamu."
Kenapa ini penting? Dalam prakteknya, cara seperti inilah yang seringkali lebih efektif dan lebih efisien. Dengan menyepakati siapa yang menjadi pemimpin berarti akan lebih jelas siapa yang mengambil keputusan, siapa yang menjalankan keputusan, siapa yang bertanggungjawab atas keputusan itu, dan seterusnya. Tapi, coba bayangkan kalau pemimpinnya tidak ada? Yang sering terjadi adalah kericuhan, gontok-gontokan, debat, konflik, saling ingin mengalahkan, dan seterusnya. Karena itu ada semacam adagium bahwa lebih baik suatu kelompok atau masyarakat itu memiliki pemimpin meskipun pemimpinnya itu bukanlah orang yang serba "lebih" segala-galanya.
Dalam prakteknya, istilah pemimpin ini diterapkan untuk beberapa pengertian. Ada pengertian yang mengarah pada peranan. Pemimpin adalah orang yang memerankan kepemimpinan (nilai-nilai leadership). Menurut pengertian ini, semua orang (laki-laki atau perempuan) adalah pemimpin, minimalnya adalah pemimpin bagi dirinya dan keluarganya. Ada lagi pengertian yang mengarah pada jabatan atau posisi yang kemudian identik dengan istilah-istilah antara lain: atasan, bos, kepala, nahkoda, manajer, direktur, presiden, ketua, dan seterusnya. Ini semua adalah jabatan yang terkait dengan fungsi-fungsi kepemimpinan. Ada lagi istilah pemimpin formal dan pemimpin informal.
Bahkan dalam prakteknya, kita mengenal istilah pemimpin dan pimpinan. Bedanya apa? Sebagian pendapat mengatakan, pemimpin itu tidak butuh SK, tidak butuh partai, tidak mesti butuh bawahan. Pemimpin di sini mengarah kepada kualitas peranan. Sedangkan pimpinan butuh SK, butuh pengangkatan, butuh dukungan, butuh suara, dan seterusnya. Banyak pimpinan yang tidak pemimpin dan banyak pemimpin yang tidak menduduki jabatan pimpinan.
Kalau mengacu pada ajaran agama, temuan sain, dan pengalaman sejumlah pemimpin, yang paling ditekankan adalah kepemimpinan dalam pengertian yang pertama, yakni memerankan nilai-nilai pokok leadership. Bentuknya apa nilai-nilai pokok itu? Bentuknya adalah mempelopori proses untuk mewujudkan keinginan bersama (visi). Suatu kelompok yang tidak ada pemimpinnya seringkali hanya berandai-andai, mengkhayal, ngobrol ngalor-ngidul, takut, sungkan, dan lain-lain. Dengan adanya pemimpin, maka pemimpin inilah yang akan menggerakkan atau mengaktivasikan energi orang banyak itu supaya menjadi kenyataan.
Menurut ajaran leluhur kita, seorang pemimpin itu haruslah memainkan tiga peranan inti. Kalau dia kebetulan di depan, dia harus berperan untuk mengarahkan, menunjukkan jalan, atau menjadi penutan. Kalau dia pas kebetulan di belakang, dia harus berperan mendorong kemajuan, memunculkan inisiatif, atau memberikan tanggung jawab dan delegasi. Kalau pas dia di tengah, dia harus menjadi pendamai, penyeimbang, penyambung komunikasi yang terputus, berada di atas dan untuk semua golongan, dan seterusnya.
Memainkan peranan ini jauh lebih dibutuhkan ketimbang memangku jabatan. Bahkan sampai ada yang menyimpulkan bahwa kepemimpinan itu sejatinya adalah tindakan, bukan jabatan. Lihat saja misalnya orang yang sudah diberi jabatan untuk memimpin tetapi tidak sanggup memainkan peranan sebagai pemimpin, apa yang terjadi? Pasti kepemimpinannya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan mahkota jabatannya akan diambil lagi oleh si pemberi jabatan (orang banyak atau Tuhan) dengan cara yang beragam.
"Leadership is the way of transforming vision into reality."
Berbagai Jurus Memimpin
Dalam berbagai literatur kepemimpinan sering kita temukan istilah art dan science. Istilah ini mengandung pengertian bahwa memimpin orang lain itu butuh pengetahuan tentang teori-teori leadership (science) dan butuh seni dalam mempraktekkan teori-teori itu. Karena itu, pas juga kalau disebut jurus. Jurus ini bermacam-macam dan digunakan atas pertimbangan keadaan tertentu dan harus bisa berubah. Sebagian dari sekian Jurus yang bisa kita jadikan acuan adalah di bawah ini:
Jurus Kepemimpinan
Kompetensi Mental
Yang Dibutuhkan
Iklim
Tujuan
Kapan Jurus Itu
Tepat Diterapkan
Paksaan / Memaksa
Bisa menggerakkan, meng-inisiatif, dan bisa mengontrol-diri
Strongy negative
Tanggapan yang cepat dan langsung (immediate action)
Pada saat krisis atau keadaan mendesak
Menguasai orang lain (otoriter)
Punya kepercayaan-diri, empati, kapasitas untuk mengubah orang lain
Most strongly positive
Memobilisasi orang lain supaya mengikuti
Ketika perubahan baru diinginkan atau butuh visi baru atau arahan baru
Afiliatif
(Menggabungkan)
Bisa menyatukan, manajemen konflik, empati
Highly positive
Menciptakan keharmonisan
Ketika kerenggangan terjadi dalam tim atau mencairkan ketegangan
Demokratik
Bisa mengkolaborasi, komunikasi dan memimpin tim
Highly positive
Membangun komitmen bersama melalui keterlibatan
Ketika butuh membangun kongsi, kebersamaan, kesepakatan, atau untuk mendapatkan masukan
Merumuskan model (pacesetter)
Kesungguhan, bisa menggerakkan, punya inisiatif
Highly negative
Melaksanakan tugas baru atau tugas yang standarnya tinggi
Ketika dibutuhkan hasil yang cepat dan bagus
Membina (coaching)
Bisa mengembangkan orang lain, empati, penguasaan emosi dan pengetahuan-diri
Highly positive
Membangun kekuatan di masa depan
Ketika yang dibutuhkan adalah perbaikan kinerja atau kualitas “SDM� untuk jangka panjang
*) Sumber: An EI-Based Theory of Performance, Daniel Goleman, The Consortium for Research on Emotional Intelligence in Organizations, 2004
Dengan kata lain, yang disebut jurus dalam memimpin itu adalah tindakan tertentu yang kita ambil berdasarkan kapasitas yang kita miliki, berdasarkan keadaan orang yang kita pimpin, dan berdasarkan tujuan utama yang hendak kita wujudkan. Efektivitas dan efisiensi kepemimpinan biasanya akan ditentukan oleh sejauhmana kita bisa menentukan jurus yang sesuai dengan tiga hal itu.
Karena itu, dalam berbagai diskusi tentang leadership, saya kerap mendengar pernyataan atau pendapat bahwa tidak semua yang otoriter itu jelek. Otoriter terkadang dibutuhkan sejauh itu digunakan sebagai jurus (the strategy) pada saat keadaan menuntut perubahan yang cepat dan ketika orang-orang yang kita pimpin itu belum memiliki kesadaran moral yang diakarkan pada nilai-nilai abstrak (kebenaran universal).
Lain soal kalau itu kita terapkan sebagai bawaan (trait). Biasanya, jurus otoriter yang kita terapkan sebagai bawaan bisa menimbulkan hal-hal yang tidak bagus bagi pemimpin dan bagi yang dipimpin. Otoriter yang mulus bisa menghasilkan kediktatoran. Otoriter yang mulus bisa menghasilkan ketakutan terpendam yang suatu saat nanti akan menghasilkan euforia (luapan kegembiraan yang berlebihan) yang ekstrim.
Jadi intinya, semua jurus di atas apabila diterapkan melebihi porsinya atau ekstrim atau berlebihan, biasanya akan menimbulkan deviasi (penyimpangan) yang umumnya negatif. Model kepemimpinan yang membina (coaching) itu baik, tetapi kalau keterlaluan, deviasinya adalah mendekte. Mendelegasikan itu baik, tetapi kalau keterlaluan, deviasinya adalah rentan kecolongan. Cerewet itu terkadang bagus, tetapi kalau berlebihan, deviasinya adalah bikin orang lain tidak nyaman dan kita pusing sendiri.
Syarat apa yang perlu kita penuhi supaya kita tidak berlebihan menerapkan jurus di atas? Syaratnya sebetulnya sederhana dan kita semua sudah tahu namun untuk menerapkannya butuh pembelajaran. Syarat itu adalah menomerduakan keinginan-diri (subyektivitas pribadi, hawa nafsu, egoisme, dll) dan menomersatukan nilai-nilai, dalil pengetahuan, dan petunjuk pengalaman. Jadi, kalau yang kita tunjukkan itu diri kita, deviasi sangat mungkin akan muncul. Tetapi jika yang kita tunjukkan itu adalah komitmen kita pada nilai-nilai yang kita perjuangkan, deviasi itu bisa dikurangi atau diantisipasi.
Karena itu, dalam ajaran agama ada istilah "marah karena Tuhan". Marah seperti ini dikatakan sebagai tanda keimanan. Marah seperti ini bukan artinya kita mengatakan bahwa marah kita gara-gara Tuhan. Kemarahan karena Tuhan adalah kemarahan yang tujuannya adalah tindakan perbaikan, ditujukan kepada orang yang pas, tidak dilandasi nafsu kebencian dan kita sadar kapan kemarahan itu dimulai dan kapan harus diakhiri. Marah karena Tuhan adalah kemarahan yang didasari perjuangan nilai-nilai, pengetahuan dan pengalaman.
Untuk seorang pemimpin, baik itu peranan atau jabatan, marah karena Tuhan dengan pengertian yang sangat logis dan fair itu menjadi sangat dibutuhkan. Bayangkan kalau ada seorang pemimpin yang marahnya karena nafsu (amarah), apa yang terjadi? Tentu bisa merugikan dirinya sendiri dan orang-orag yang dipimpinnya.
"Amarah dan tidak toleran adalah musuh bagi pemahaman yang benar."
(Mohandas Karamchand Gandhi)
Syarat-syarat Memerankan Kepemimpinan
Kalau melihat hukum Tuhannya, kemampuan kita memerankan nilai-nilai kepemimpinan merupakan prinsip dasar kepemimpinan itu. Dikatakan prinsip dasar berarti tidak bisa disiasati atau tidak bisa ditinggalkan. Apa saja prinsip dasar itu? Berikut ini adalah prinsip dasar yang perlu kita jalankan:
Pertama, milikilah nilai-nilai yang kita perjuangkan menurut keadaan kita. Ada banyak kasus yang kerap terjadi dalam kepemimpinan rumah tangga. Kasus itu muncul karena lemahnya peranan kepemimpinan. Misalnya saja ada seorang menantu (suami / istri) yang punya hubungan kurang harmonis dengan mertua. Sepintas kita sepertinya dihadapkan pada dilema yang sulit. Kalau kita memihak ke pasangan, kita akan dicap sebagai orang yang tidak berbakti sama orangtua. Tapi kalau kita memihak ke orangtua, kita akan dicap sebagai orang yang mengorbankan pernikahan demi orangtua. Jadi bagaimana ini?
Jika kita hanya berpikir untuk memihak manusia atau orangnya (mertua, suami-istri, orangtua, dst), maka dilema akan selalu muncul dan masalah serupa akan selalu terulang, pun juga tidak ada solusi yang akan mengangkat kita ke tingkat yang lebih bagus. Tetapi, jika kita berpihak pada nilai-nilai (apa yang baik, apa yang bermanfaat, dan apa yang benar menurut ukuran keluarga kita), maka lambat laun dilema seperti itu akan hilang. Suasana hubungan di keluarga kita pun akan semakin bagus dan pengaruh kepemimpinan kita pun semakin terasa.
Jadi, seorang pemimpin itu dituntut untuk memiliki "pegangan" berupa nilai-nilai yang ia perjuangkan berdasarkan keadaannya. Dengan berpegang teguh pada pegangan itu maka muncullah kharisma. Tentu saja berdasarkan kadar kita. Dengan berpegang teguh pada nilai-nilai itu, maka apapun yang akan kita lakukan, misalnya menegur, mengingatkan atau mendamaikan, itu semua akan di-drive oleh nilai-nilai itu atau "karena Tuhan".
Kedua, menjadi role model atas nilai-nilai yang kita perjuangkan. Seringkali manusia itu memiliki jarak antara apa yang diomongkan dengan dirinya, antara apa yang diopinikan dengan dirinya, antara apa yang ditulis dengan dirinya, antara apa yang pelajari dengan dirinya. Ini semua adalah contoh tidak adanya role model (Integrity).
Seorang pemimpin dituntut untuk menjadi role model atas apa yang ia perjuangkan. Mengambil contoh kasus keluarga di atas, berarti kalau kita berpegang teguh pada nilai-nilai kehormonisan atau kesetaraan, maka kita pun harus menjadi contoh tentang hal ini atau kita sudah menjalankan nilai-nilai itu. Kalau kita berpegang teguh pada kesederhanaan, maka kita pun harus menjalankan kesederhanaan. Kalau kita berpegang teguh pada kasih sayang, maka kita pun harus menjalankan kasih sayang.
Jangan sampai nilai-nilai kebenaran itu kita ucapkan tetapi itu semua kita alamatkan kepada orang lain semata. "Nilai-nilai itu for you, not for me." Jika ini yang terjadi, kepemimpinan kita akan lemah. Kepemimpinan yang lemah kurang bisa memberikan solusi dan kurang bisa menekan masalah.
Ketiga, mengembangkan kapasitas personal untuk menjadi yang lebih baik. Kapasitas personal yang perlu kita kembangkan itu antara lain adalah kapasitas intelektual (pengetahuan, pengalaman, keahlian, cara berpikir, dst), kapasitas emosional (memperlakukan orang, kontrol-diri, berkomunikasi, dst), kapasitas spiritual (ketaatan, kejelasan visi hidup, dorongan berubah ke arah yang lebih bagus, dst).
Kenapa pengembangan kapasitas personal ini menjadi prinsip? Ini terkait dengan orang-orang yang kita pimpin. Pemimpin yang disiplinnya lemah tidak bisa menggerakkan orang-orang malas. Pemimpin yang emosinya masih kacau kurang bisa mendamaikan orang-orang yang sedang bertengkar. Pemimpin yang masih punya keberpihakan besar pada manusia tidak bisa mengajak orang lain untuk berpihak pada nilai. Pemimpin yang tidak memiliki komitmen untuk belajar tidak bisa menggerakkan orang lain untuk belajar. Intinya, pengembangan kapasitas personal itu haruslah selalu kita lakukan. Tentu saja berdasarkan keadaan kita dan orang-orang yang kita pimpin. Tanpa ini, kepemimpinan kita akan lumpuh.
Keempat, dahulukan pengaruh sebelum power. Pengaruh itu biasanya dihasilkan dari kualitas "SDM" kita. Pengaruh itu dihasilkan dari komitmen kita dalam menjalankan prinsip 1, 2, dan 3. Seringkali pengaruh itu tidak bisa diciptakan dengan rekayasa, tetapi tercipta sendiri karena proses. Sedangkan power itu adalah kekuatan yang biasanya diciptakan oleh sistem, kekuatan formal, atau hasil dari apa yang kita lakukan (misalnya power, jabatan, kekayaan, keahlian, dst).
Kenapa kita perlu mendahulukan penggunaan pengaruh (influence) sebelum power? Biasanya, ini lebih efektif, efisien, dan lebih "mendekatkan" atau lebih "menyadarkan". Misalnya saja kita ingin memotivasi seseorang agar lebih memperbaiki kinerjanya. Sebelum kita menggunakan jabatan, sangat disarankan kita menggunakan pendekatan personal. Tetapi jika tidak mempan juga, ya apa boleh buat?
Kelima, mengetahui kapan mendengarkan, kapan berbicara, dan kapan mengambil keputusan. Ini sangat penting untuk mengatasi dinamika keadaan yang terus berubah. Kalau kita banyak bicara padahal yang dituntut adalah mendengarkan, ini juga kurang. Kalau kita lebih banyak mendengarkan padahal yang dituntut adalah berbicara, ini juga kurang. Kalau kita hanya bicara dan mendengarkan padahal yang dituntut adalah mengambil keputusan, ini juga kurang. Intinya, sebelum memimpin orang lain, entah peranan atau jabatan, syarat yang harus kita penuhi adalah memimpin diri sendiri. Tidak mungkin kita bisa menjalankan prinsip-prinsip dasar kepemimpinan itu tanpa kemampuan dalam memimpin diri sendiri.
"Tidak ada orang yang bisa memimpin orang lain
sebelum dapat memimpin dirinya."
SAHABATKU KELUARGAKU
"PERJUANGAN HIDUP YANG TERMOTIVASI"
Minggu, 30 Januari 2011
Sabtu, 26 Juni 2010
AKTIFIS KAMPUS

PERHELATAN wacana yang mengangkat tema "aktivis kampus" di Mimbar Akademik ini, yang diawali dengan tulisan Usep Saefulloh (Kampus/23 Maret) dan ditanggapi oleh dua tulisan (Kampus/6 April) masing-masing dari M. Ikhsan Shiddieqy dan Agustinus Ari Sutriesno, membuat saya tertarik untuk masuk ke dalam mimbar ini.
Aktivis kampus bergerak di jalur politik dan aktivis imajiner atau apa pun itu adalah bagian dari kehidupan dunia kampus. Sebagai miniatur negara, kampus memang memiliki keragaman, baik dari aktivitas, pola pikir sampai dengan identitas. Dan kemudian dari perbedaan atau pluralitas itu kampus menjadi tempat lahirnya banyak pelaku perubahan yang kemudian berbaur di masyarakat.
Sebelum masuk terlalu dalam, ada sebuah rekaman yang saya ingin sampaikan kepada sidang pembaca yang terhormat. Dikisahkan dari sebuah kampus imajiner, malam itu, empat orang mahasiswa tengah berdiskusi, sangat menarik, sampai-sampai mereka lupa jika hanya merekalah mahasiswa yang tertinggal di kampus. Sepi, hanya ada mereka berempat, lima orang satpam, selebihnya tidak ada siapa-siapa lagi.
Malam semakin larut dan diskusi semakin panas. Berbagai permasalahan dibahas, dari mulai kuliah, permasalahan sosial politik yang lagi hangat dipertontonkan oleh sejumlah media nasional, sampai masalah cinta dan perasaan. Sampailah mereka pada satu pembahasan!
A: "Kenapa sih kita harus jadi aktivis?"
B: "Pilihan hidup kali?!"
A: "Pilihan hidup kayak gimana?"
C: "Memang benda atau binatang semacam apa aktivis itu? Yang suka demonstrasi, suka mengkritik atau kayak gimana?"
D: "Aktivis itu orang yang aktif, itu saja!"
B: "Kalau begitu semua mahasiswa di kampus ini aktivis semua dong, lantas apa yang dimaksud apatis?"
D: "Semua itu hanya label!"
A: "Dan label itu ada karena suatu hal!"
B: "Misalnya?"
A: "Kalau menurut gua, aktivis itu adalah orang yang memiliki aktivitas lebih di dalam kampus selain kegiatan kuliahnya!"
B: "Kegiatan apa?"
A: "Kegiatan yang berguna buat orang banyak?"
C: "Masih abstrak kawan!"
Diskusi itu terus berputar di pembahasan definisi aktivis. Sementara, malam kian larut, dan sampai menjelang pagi definisi belum diketemukan, hingga akhirnya keempat mahasiswa itu sadar bahwa mereka sudah terjebak dalam sebuah kerangka pemikiran yang menempatkan manusia sebagai objek, bukan subjek.
Definisi berbeda dengan makna, jika memang definisi kemudian bisa disatu-frame-kan maka itu belum tentu berlaku pada makna, karena pemaknaan akan lebih rumit untuk digeneralisasi. Dan saya pribadi lebih tertarik untuk membahas makna daripada sekadar definisi.
Saya kurang sepaham dengan definisi yang diajukan kawan Agustinus tentang aktivis kampus, di mana aktivis kampus adalah orang-orang yang mau berpikir, berjuang dan bersedia menjadi pelaku perubahan yang mengarah kepada perbaikan nasib bangsa ini dengan segenap kemauan dan kemampuan. Dari definisi itu saya memaknai bahwa ada hal yang memang dilupakan oleh aktivis kampus hari ini, yakni kondisi teman-temannya yang lain (mahasiswa lain) yang katakanlah non-aktivis, artinya kemudian ada proses penyekatan dan pengotakan yang berakibat pada tidak terjadinya harmonisasi di kampus.
Saya pernah mendapatkan sebuah realitas, ketika teman-teman aktivis pergerakan di kampus saya melakukan demonstrasi, ternyata tidak mendapat simpati dari mahasiswa lainnya, malah ada yang tidak respect. "Tolong bilangin, jangan bakar ban, saya kan mau pulang jadi sesak sama asap!" ujar teman saya, menyampaikan protesnya.
Apa yang kemudian saya tangkap dari peristiwa itu, adalah kurangnya peran dari kawan-kawan yang menamakan dirinya sebagai aktivis dengan embel-embel fungsinya, untuk melakukan proses penyadaran terhadap mahasiswa lainnya. Bahkan yang lebih ngeri, sering muncul sikap egoistik di mana A adalah A dan B tidak sama dengan A. Maksudnya, latar belakang organisasi atau bendera organ menjadi jurang pemisah dari sebuah pergerakan yang kemudian memunculkan ketidak-sinergisan arah gerakan.
"Itu wajar, karena cita-cita setiap organ pasti berbeda!" kata seorang aktivis membantah. Kalaupun ada perbedaan, lantas wacana perubahan seperti apa yang kemudian akan diusung? Dan kenapa proses perangkulan itu sekadar dilakukan untuk pengaderan ataupun rekrutmen anggota semata?
Saya sepakat dengan wacana Usep Saefulloh yang menyatakan bahwa mahasiswa kini bukan lagi agen perubahan, tapi harus menjadi pelaku perubahan, yang kemudian saya maknai tidak lagi menjadi objek tapi menjadi subjek. Tidak lagi menjadi agen yang menerima pesanan perubahan dari rezim atau kekuasaan tertentu tapi menjadi pelaku dari perubahan itu sendiri yang tentunya dikehendaki oleh masyarakat luas.
Jadi harus bagaimana aktivis itu? Aktivis juga kan manusia?! Manusia yang bijak adalah manusia yang tidak melupakan hal-hal terkecil dalam hidupnya... (pepatah kuno). Tanpa maksud menggurui, dan tanpa mengesampingkan isu di luar atau masalah politik nasional, memang sudah sepantasnya kawan-kawan aktivis, baik pergerakan maupun non pergerakan, lebih dulu mengutamakan masalah-masalah di lingkungan terdekatnya dulu, sebelum melangkah jauh ke isu luar yang lebih besar. Misalnya, masalah kecacatan akademik dan sistem pendidikan di kampus, penyalahgunaan wewenang birokrat, penderitaan mahasiswa miskin di kampus dan masih banyak lagi isu yang sudah sepatutnya diperjuangkan sampai tuntas di kampus sendiri.
Baru ketika permasalahan di kampus sudah diatasi, atau katakanlah ideal, barulah saatnya bagi para aktivis untuk menyikapi fenomena luar yang lebih luas, di mana hal itu pun harus dengan jaminan bahwa para aktivisnya adalah orang-orang yang benar-benar bisa bertanggung jawab, minimal terhadap dirinya sendiri, yang menjadi salah satu barometer atau contoh ideal bagi kawan-kawan mahasiswa lainnya yang masih tertidur.
Menurut perkiraan skeptis saya, di dalam satu kampus di Bandung diperkirakan jumlah aktivis rata-rata 10-25% dari keseluruhan mahasiswa yang ada. Hal itu memang memberatkan bagi kawan aktivis yang ada, banyak hal terjadi di mana aksi mereka tidak mendapat dukungan dari kawan mahasiswa sekampusnya sendiri. Ini memang sangat ironis, tapi tidak akan menjadi beban ketika yang diperjuangkan adalah kepentingan bersama, dalam artian para kawan aktivis tersebut ikut memperjuangkan kepentingan mahasiswa lain yang terkesan apatis, yang notabene tidak berani berbicara dan bertindak walaupun pada dasarnya mereka juga merasakannya. Aksi untuk kepentingan bersama adalah langkah mulia dan pasti akan ada yang mendukung, walaupun kebanyakan hanya di dalam hati. Yang pasti posisi mahasiswa sebagai jangkar dan oposisi yang selalu mengambil garis tegas terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang terhadap rakyat, baik itu rakyat kampus maupun masyarakat luas pada umumnya senantiasa harus selalu dijaga.
Semoga gelar aktivis bukan dimaknai sebagai suatu status sosial yang perlu dibanggakan tapi menjadi sebuah posisi yang harus dipertanggungjawabkan! Terakhir, perjuangan adalah awal dari kenyataan... dan kenyataanlah yang akan mengantarkan perjuangan kita!
Selasa, 22 Juni 2010
PENTINGNYA SEORANG SAHABAT

apalah arti seorang sahabat
bila para sahabat
tidak lagi percaya
pada sahabatnya sendiri
sudah pantaskah kau kusebut sahabat
bila kau sahabat ku
tidak lagi yakin
pada sahabatnya sendiri
aku tahu ini masalah hati
aku juga tahu ini masalah nurani
aku juga lebih tau ini masalah perasaan
atau lebih tepatnya masalah cinta
tapi mengapa wahai sahabatku..
sudah tidak lagi meyakiniku
bahkan tidak lagi mempercayaiku
kalau aku adalah sahabatmu
sahabat yang tidak akan memakan sahabatnya sendiri
sahabat yang tidak akan menjatuhkan sahabatnya sendiri
sahabat yang tidak akan merebut kekasih sahabatnya sendiri
sahabat yang tidak akan melukai sahabatnya sendiri
mengertilah wahai sahabatku..
sahabat adalah segala-galanya
sahabat adalah penerang hidupku
sahabat adalah penopang hidupku
aku akan tetap menghormatimu
aku akan tetap mempercayaimu
aku akan tetap menyanjungmu
meski sahabat telah membunuh perasaan sahabatnya sendiri
maafkan aku sahabatku
jika sahabatmu ini? banyak berbuat salah
karena manusia hanyalah manusia
yang tak luput dari kesalahan
Semoga Persahabatan ini dapat kekal abadi
hingga akhir hayat nanti
* buat seorang sahabat yang sudah tidak mempercayai sahabatnya sendiri,….
Senin, 19 April 2010
REDEFINISI EKONOMI ISLAM
Mencari Jawab atas Kegagalan Sistem Ekonomi Konvensional
A. Latar Belakang; Paradoks Ekonomi Islam
Sejak tahun 90-an ekonomi Islam dengan berbagai instrumen yang menyertainya menjadi salah satu topik “perbincangan ilmiah” di Indonesia. Perbincangan tersebut pada akhirnya mengarah pada tanggapan yang positif dari kalangan akademisi maupun praktisi, dimana banyak perguruan tinggi (khususnya PTAI) yang membuka program studi Ekonomi Islam atau program lain yang masih berada dalam rumpun keilmuannya. Sebaliknya di kalangan praktisi, issu ekonomi Islam ditindak lanjuti dengan pendirian berbagai lembaga keuangan syari’ah yang belakangan menjadi salah satu kekuatan ekonomi di Indonesia bahkan di dunia.
Salah satu sebab pesatnya perkembangan ekonomi Islam di Indonesia diyakini karena system yang tebangun di dalamnya memiliki keunggulan komparatif jika dibandingkan dengan beragam sistem ekonomi (konvensional) yang datang silih berganti. Meskipun demikian, dari sudut pandang akademik masih dijumpai berbagai persoalan mendasar yang menjadikan perkembangan ekonomi Islam tidak seperti yang diharapkan. Persoalan tersebut terutama terletak pada belum ditemukannya rancang bangun epistemology yang kokoh sebagai pijakan bagi keilmuannya. Sejauh ini secara umum pandangan keilmuan ekonomi Islam di Indonesia (sebagaimana di negara lain) terbelah menjadi tiga arus besar, yaitu;
Pertama, arus pemikiran yang meniscayakan otoritas teks-teks liturgis sebagai sumber keilmuan ekonomi Islam; Kedua, arus pemikiran pragmatis yang mengambil jalan pintas dengan mengambil instrument ilmu ekonomi konvensional sebagai kerangka teoretis ekonomi Islam melalui modus Islamisasi, dan; Ketiga, arus tengah yang mencoba mendamaikan perdebatan dua model pemikiran sebelumnya dengan cara mengintegrasikan kuasa teks liturgis sebagai sumber material dan landasan etis, dengan instrumen-instrumen ilmu ekonomi (konvensional) sebagai kerangka teoretisnya. Dari perdebatan ketiga arus pemikiran di atas dapat dimunculkan sebuah pertanyaan besar; Bagaimanakah sebenarnya rumusan atau rancang bangun keilmuan ekonomi Islam (syari’ah)?
Sementara itu dari sisi praksis, seringkali dijumpai (atau paling tidak anggapan umum) bahwa praktik lembaga-lembaga keuangan syari’ah sebagai kepanjangan tangan ekonomi Islam masih jauh dari ideal, dalam arti “alih-alih menerapkan prinsip syari’ah, model-model transaksi yang selama ini diterapkan masih mengkopi begitu saja dari perbankan konvensional”. Akibatnya jangan heran jika banyak tuduhan kalau perbankan syari’ah pada dasarnya tidak berbeda dengan perbankan konvensional, BMT tidak lain dari rentenir berbaju syari’ah dan seterusnya. Jika tuduhan-tuduhan di atas benar, sebuah pertanyaan serius patut diajukan; Mampukah ekonomi Islam menjadi alternatif bagi kegagalan system ekonomi konvensional?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis mengajukan sebuah hipotesis bahwa pada hakikatnya ekonomi Islam lahir dari pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama Islam itu sendiri, khususnya di bidang mu’a>malah ma>liyah. Akan tetapi, harus disadari bahwa ajaran Islam (dan agama pada umumnya) biasanya dicirikan oleh dua hal; Pertama, hanya memberikan garis-garis normative; Kedua, sangat terikat dengan latar belakang social-budaya yang membentuknya pada konteks ruang dan waktu yang telah lampau. Oleh karena itu menerapkan ajaran agama begitu saja tanpa adanya upaya kontekstualisasi acapkali berujung pada kegagalan. Hal yang mungkin dilakukan adalah manarik ajaran tersebut menjadi sebuah system pengetahuan (ekonomi Islam) dari sisi etikanya. Karena itulah penulis mengajukan terminologi “ekonomi etis” sebagai pengganti istilah “ekonomi Islam” yang selama ini dikenal. Pemikiran ini antara lain didasarkan pada kenyataan bahwa penggunaan terminologi ekonomi Islam dihadapkan pada beban-beban epistemologis, metotologis maupun ideologis yang dapat menghambat upaya teoretisasi ekonomi Islam itu sendiri.
B. Pembahasan
1. Keterkaitan Etika dan Ekonomi
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, dari akar kata tunggal ethos yang memiliki banyak makna, antara lain; tempat tinggal yang khas, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) memiliki arti adat kebiasaan. Arti terakhir inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh Aristoteles (384-322 S.M.) dipakai dalam arti filsafat moral. Jika pengertian etika dibatasi pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat-istiadat.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) versi 1953 yang ditulis oleh Poerwadarminta, “etika” dijelaskan dalam arti tunggal sebagai “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak atau moral”. Dengan kata lain etika adalah sebuah ilmu. Tetapi jika melihat uraian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, “etika” dijelaskan dalam tiga strata makna. Pertama, ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Kedua, kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Ketiga, nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Bartens membedakan arti etika dalam tiga tingkat yang berbalik. Pertama, kata “etika” bisa dipakai dalam arti nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah-lakunya. Dalam pengertian ini orang mengenal apa yang disebut “etika suku-suku Indian”, “etika (agama) Budha”, “etika (agama) Protestan” (Protestant ethic), dan mungkin juga “etika (agama) Islam”. Arti-arti ini tidak menempatkan etika sebagai ilmu, tetapi sebagai sebuah “sistem nilai”. Kedua, etika berarti pula kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik, atau sekumpulan etika yang disepakati berlakunya dan mengatur bagi sebuah komunitas atau institusi tertentu. Ketiga, etika mempunyai arti “ilmu tentang yang baik atau buruk”. Etika menjadi ilm jika kemungkinan-kemungkinan etis yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat tanpa melalui proses sadar, menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika pada tahap ini sama artinya dengan filsafat moral.
Ketika ditarik pada wilayah studi ekonomi, etika dibedakan menjadi ‘praksis’ dan ‘refleksif’ ini melahirkan apa yang disebut dengan ekonomi sebagai ‘refleksi’ (atau ilmu) dan ekonomi sebagai ‘praksis’ atau kegiatan ekonomi. Pada ranah ekonomi ekonomi dapat dijalankan pada tiga tahap; makro, meso dan mikro. Pada tahap makro etika ekonomi mempelajari aspek-aspek moral dari sistem ekonomi secara keseluruhan. Misalnya masalah keadilan, aspek-aspek etis kapitalisme, keadilan sosial, utang Negara, dan sebagainya. Pada tahap meso etika ekonomi mempelajari masalah-masalah etis di bidang organisasi. Misalnya perusahaan, lembaga konsumen, perhimpunan profesi dan sebagainya. Sedangkan pada tahap mikro etika ekonomi membahas tentang individu dalam hubungannya dengan ekonomi atau bisnis. Misalnya tanggung jawab etis manajer, karyawan, majikan dan sebagainya.
Meskipun demikian, di kalangan ekonom sendiri terdapat perdebatan berkepanjangan dalam hal apakah ilmu ekonomi merupakan ilmu yang sarat dengan muatan nilai dan etika ataukah sebaliknya, bebas dari unsur-unsur tersebut (wertfrei, value free). Sebab masuknya unsur etika dalam kawasan ilmu ekonomi menimbulkan problem epistemologis yang cukup serius. Bagi yang berpendapat bahwa ilmu ekonomi merupakan cabang ilmu yang sarat dengan nilai, maka yang menjadi pertanyaan mendasarnya adalah What augh to be. Sedangkan yang beranggapan ilmu ekonomi bebas dari muatan nilai maka pertanyaan mendasar adalah What is. Karena itu sebagian ahli memilah ilmu ekonomi menjadi dua macam, yaitu ilmu ekonomi positif dan ilmu ekonomi normatif. Yang pertama menyajikan dan menyelidiki fakta sebagaimana adanya sedangkan yang kedua memasukkan unsur-unsur nilai seperti baik-buruk, layak-tidak layak dan sebagainya. Ada pula yang berpendapat bahwa etika ketika memasuki kawasan ilmu ekonomi hanya dapat dilihat dalam praktek ekonomi bukan pada teorinya.
Menurut Bartens terdapat kaitan yang sangat erat antara etika dengan ekonomi, baik sebagai ilmu pengetahuan maupun sebagai aktifitas bisnis. Bartens menyebutkan suatu istilah yang menunjukkan keterkaitan tersebut, yaitu etika ekonomi. Menurutnya, etika ekonomi adalah pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi. Moralitas berarti baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan karenanya diperbolehkan atau tidak, dari perilaku manusia. Moralitas selalu berkaitan dengan apa yang dilakukan manusia, dan kegiatan ekonomis merupakan satu bidang perilaku manusia yang penting. Tidak mengherankan jika sejak dahulu etika juga menyoroti ekonomi.
Belakangan, etika ekonomi menjadi satu kajian yang serius di berbagai belahan dunia. Cara-cara studi ekonomi an sich yang bersifat positifistik dirasakan tidak lagi memadai dan mampu menjawab tantangan-tantangan isu ekonomi global saat ini yang acap kali dikaitkan dengan tanggung jawab sosial dan moral. Artinya ekonomi sekalipun tidak mungkin memisahkan diri dari aspek-aspek etika. Seorang pakar ekonomi (ekonom) dan pelaku ekonomi (entrepreneur) harus mempelajari etika-etika yang berlaku dalam dunia ekonomi.
Bartens menyatakan bahwa setidaknya terdapat tiga tujuan utama yang hendak diraih dalam mempelajari etika ekonomi, yaitu; Pertama, untuk menanamkan atau meningkatkan kesadaran akan adanya dimensi etis dalam (ekonomi dan) bisnis; Kedua, Memperkenalkan argumentasi moral, khususnya di bidang ekonomi dan bisnis, serta membantu pelaku ekonomi dan bisnis dalam menyusun argumetasi moral yang tepat; Ketiga, Membantu pelaku ekonomi dan bisnis untuk menentukan sikap moral yang tepat di dalam profesinya. Tujuan ketiga ini berkaitan erat dengan pertanyaan yang sudah lama dipersoalkan dalam etika, bahkan sejak awal sejarah etika pada era Sokrates (abad ke-55 SM).
Menanggapi begitu eratnya keterkaitan antara etika dengan ekonomi, dengan menutip pendapat Sjafruddin Prawiranegara, Dawam Rahardjo menyimpulkan bahwa ekonomi, baik dalam arti ilmu ataupun kegiatan, di mana-mana adalah sama. Aspek yang membedakan antara satu sistem ekonomi dengan lainnya adalah moral ekonominya. Karena itu, yang bisa dipelajari secara lebih khusus adalah etika ekonominya. Bahkan etika di sini oleh beberapa pemikir dipersempit lagi menjadi etika agama, misalnya menurut ajaran Islam, atau salah satu tokoh yang dianggap memiliki pemikiran di bidang “etika ekonomi” tersebut, misalnya Keynes, Weber, Marx, Ibn Taymiyah, Ibn Khaldun, al-Ghazali dan seterusnya.
Jika pada masa-masa awal kelahirannya perbincangan tentang ekonomi terintegrasi dengan etika, ekonomi modern justru bergerak semakin menjauh dari etika, seolah-olah keduanya mencari identitas sendiri-sendiri sebagai dua cabang ilmu yang tidak saling berkaitan satu dengan lainnya. Itulah sebabnya kemunculan studi etika ekonomi akhir-akhir ini tidak lepas dari kritik pedas dari berbagai kalangan_termasuk dari para ekonom sendiri_setelah melihat sebuah kenyataan bahwa saat ini ekonomi dalam arti sebagai ilmu maupun aktifitas bisnis kian jauh dari nilai-nilai etika.
Kritik yang ditujukan pada ekonomi sebagai ilmu bukan dimaksudkan untuk menggugat kesahihan bangunan epistemologis keilmuannya, melainkan justru ditujukan pada perkembangan ilmu ekonomi yang semakin “sempurna”. Akan tetapi, bersamaan itu pula ilmu ekonomi semakin menampakkan karakter mekanis dengan menciptakan rumus-rumus dan teori-teori matematis guna menjelaskan berbagai fenomena sosial masyarakat yang berkaitan dengan aspek-aspek ekonomi. Padahal, semula diciptakannya rumus-rumus dan teori-teori matematis ekonomi_yang diilhami oleh kegemilangan fisika mekanik Newton_ tidak lain bertujuan untuk menyediakan piranti lunak (software) untuk kebutuhan analisis dan menjelaskan fenomena ekonomi, kemudian memberikan solusi yang tepat bagi berbagai problem yang muncul. Namun, tanpa disadari dengan kecenderungan ke arah matematis dan mekanis tersebut timbul persoalan-persoalan baru pada internal ilmu ekonomi itu sendiri.
Di antara persoalan yang muncul adalah; kekakuan dan keterbatasan teori-teori ekonomi modern dalam menelisik aspek “humanis” dan “etis” dari perilaku manusia yang menjadi obyeknya. Apa yang terjadi berikutnya dapat ditebak, reduksi besar-besaran dalam memandang perilaku ekonomi seseorang (dan masyarakat). Penyebabnya tidak lain berupa kesenjangan teori pada satu sisi_yang sudah terlanjur dianggap sempurna dan final_dengan sifat dinamis perilaku dan fenomena ekonomi.
Gejala semakin renggangnya ekonomi dengan etika tidak bisa lepas dari bagaimana sejarah kelahiran ekonomi modern itu sendiri. Ekonomi konvensional, lahir dari paradigma enlightenment yang ditandai dengan pendekatan utama untuk mewujudkan kesejahteraan manusia serta analisisnya tentang problem-problem manusia yang bersifat sekuler. Sekuler di sini dimaksudkan sebagai lebih mementingkan konsumsi dan pemilikan materi sebagai sumber kebahagiaan manusia, tanpa mengindahkan peranan nilai moral dalam reformasi individu dan sosial, terlalu berlebihan menekankan peranan pasar atau negara. Ia tidak memiliki komitmen kuat kepada persaudaraan (brotherhood) dan keadilan sosio-ekonomi dan tidak pula memiliki mekanisme filter nilai-nilai moral.
Berdasarkan konsep yang demikian, impelementasi sistem ekonomi kapitalisme di berbagai belahan dunia, justru menimbulkan kenyataan-kenyataan tragis. Data World Bank masih menunjukkan akan hal itu. Di Asia Timur pada tahun 1990, hampir 170 juta anak laki-laki dan perempuan putus sekolah pada tingkat sekolah menengah. Di Asia Tenggara dan Pasifik lebih sepertiga anak-anak berusia di bawah lima tahun mengalami kekurangan nutrisi. Hampir satu juga anak-anak di Asia Timur mati sebelum berumur lima tahun. Lebih dari 100 juta orang di negara-negara industri hidup di bawah garis kemiskinan dan lebih dari lima juta orang menjadi tunawisma.
Di balik kemajuan ilmu ekonomi yang begitu pesat, penuh inovasi, dilengkapi dengan Metodologi yang semakin tajam, model-model matematika dan ekonometri yang semakin luas untuk melakukan evaluasi dan prediksi, ternyata ilmu ekonomi tetap memiliki keterbatasan untuk mengambarkan, menganalisa maupun memproyeksikan kecenderungan tingkah laku ekonomi dalam perspektif waktu jangka pendek. Meminjam istilah Chapra, ilmu ekonomi konvensional telah mencapai taraf sofistifikasi intelektual secara sempurna. Akan tetapi bersamaan dengan itu ia mengalami kegagalan besar dalam membantu manusia dalam merealisasikan sasaran humanitariannya seperti keadilan dan kesejahteraan umum. Kegagalan ini, menurut Chapra disebabkan oleh anatema ilmu ekonomi terhadap penilaian (value judgement) dan penekanan yang berlebihan pada maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan individual (self interest). Hal ini tentu berlawanan dengan dasar filosofi mayoritas agama. Agama-agama pada umumnya sekalipun memandang penting pemenuhan kebutuhan materiil, akan tetapi bukan sebagai tujuan utamanya. Pada intinya, Chapra hendak menyatakan bahwa kegagalan ekonomi konvensional lebih disebabkan oleh pengabaiannya terhadap nilai-nilai, norma, agama dan etika.
Faktanya, ilmu ekonomi konvensional saat ini didominasi oleh penekanannya pada apa yang telah disepakati sebagai variabel-variabel ekonomi dalam menjelaskan jatuh-bangunnya suatu masyarakat. Tentu saja penjelasan yang demikian merupakan simplifikasi dari sekian banyak faktor yang saling berkaitan dengan kondisi sosial masayarakat. Padahal, seharusnya di samping variabel-variabel ekonomi, perlu juga memasukkan faktor-faktor moral psikologis, sosial, politik dan sejarah yang mempengaruhi manusia. Dengan kata lain perlu kajian lintas disiplin.
Atas kenyataan inilah, belakangan muncul ide dari banyak kalangan untuk mengembalikan ilmu ekonomi pada sifat humanisnya, sebagaimana ketika dulu ia dimunculkan oleh pemikir-pemikir sosiologi besar seperti Adam Smith dan Max Weber dan sebagainya. Hans Kung misalnya, melalui bukunya yang bertitel A Global Ethics for Global Politics and Economics mencoba menawarkan apa yang ia sebut dengan “etika global” (global ethics), sebagai pemecah kebuntuan yang dihadapi ilmu politik dan ekonomi modern. Demikian pula Firtjof Capra yang menulis sebuah buku berjudul The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture , dimana meskipun tidak berhasil memberikan solusi konkret tentang etika apa yang diperlukan untuk keluar dari permasalah yang dihadapi sistem ekonomi modern, tetapi paling tidak dia telah menggugah kesadaran akan betapa pentingnya memasukkan dimensi etis dalam ekonomi.
Hazel Henderson mengungkapkan ketidak setujuannya pada sistem ekonomi modern yang semakin jauh dari etika. Kritiknya tertuang dalam sebuah buku yang ia tulis sendiri dengan judul The End of Economics. Bahkan pada tahun 1971, Arthur Burns, seorang ekonom Amerika menyatakan bahwa aturan-aturan ekonomi modern tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Karenanya ia mengakui ekonomi modern telah dihadapkan pada jalan buntu. Demikian pula Milton Friedman menyatakan hal yang serupa. Menurutnya para ahli ekonomi modern telah menciptakan kerusakan besar terhadap masyarakat umum. Semua itu dikarenakan paradigma ekonomi modern yang bertumpu pada pendekatan reduksionis dan parsial.
Tidak ketinggalan para islamist juga melemparkan pandangan kritis mereka dalam menilai ekonomi konvensional. Dalam pandangan Khurshid Ahmad, ilmu ekonomi (konvensional) dewasa ini ditandai dengan dua ciri utamanya, yaitu; Pertama, ia berkembang sebagai suatu disiplin yang terintegrasi, di sekitar inti kepentingan individual, usaha privat, mekanisme pasar dan motif mencari keuntungan, berusaha memecahkan semua persoalan ekonomi dalam matriks kerangka individual ini. Kedua, paradigma ini pada hakikatnya telah memutus hubungan antara ilmu ekonomi dengan persoalan-persoalan transendental dan perhatian terhadap etika, agama dan nilai-nilai moral. Pendekatan ekonomi modern bersifat sekular, materialistis, positivistik dan pragmatis. Pertimbangan-pertimbangan normatif secara sistematis disingkirkan sedemikian rupa sehingga relevansinya dianggap menimbukkan persoalan baru. Karena pengaruh inilah ilmu ekonomi semakin menjauh dari akar filosofi etika dan menjadi suatu jaringan dari hubungan mekanis yang mudah sekali dijadikan sebagai alat kuantifikasi dan prediksi. Efisiensi dan penciptaan kekayaan menjadi konsep utamanya. Sebagai konsekuensinya, pertimbangan-pertimbangan tentang keadilan dan kebahagiaan yang merupakan bagian integral dari proses pembuatan keputusan dalam fase-fase terdahulu dikerdilkan dan dipudarkan.
Menurut Khurshid Ahmad, pendekatan dan upaya-upaya ekonomi pada masa lalu berjalin erat dengan aspek moral manusia, persepsi kultural dan keagamaan. Kepentingan individu, penciptaan kekayaan dan hubungan kepemilikan tetap menjadi sentral bahkan setiap kultur dan kerangka etika agama memiliki etos moralnya sendiri. Karena itulah ia menyerukan agar ekonomi dikembalikan pada karakter awalnya dimana ia sangat erat berjalin dengan sistem etika.
“Pada akhirnya, inti tawaran-tawaran tersebut menyiratkan bahwa kesadaran akan arti penting dimensi humanis-etis dalam wilayah ekonomi sudah sejak lama disadari oleh para pakar ekonomi sendiri.”
2. Menggeser Paradigma Ekonomi Islam Menjadi Ekonomi Etis
Bagaimana bentuk bangunan epistemologi ekonomi etis itu sendiri? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dihadapkan pada perdebatan antara aspek rasionalitas versus moralitas dalam masalah ekonomi. Perdebatan ini pada akhirnya mengerucut pada apa yang disebut dengan Ekonomi Moral (EM) dan Ekonomi Rasional (ER).
Perbedaan pandangan yang terjadi antara EM dengan ER sebenarnya berakar pada pandangan filosofis keduanya tentang manusia, serta temuan empiris yang memperlihatkan perbedaan pola-pola perilaku wirausahawan (entrepeneur), sebagai pelaku ekonomi. Penganut EM menggunakan model filosofis tentang manusia yang biasa disebut moral model. Ilmu ekonomi dengan dasar seperti ini sering disebut cultural economics (ekonomi budaya). Dalam analisis Scott tentang perilaku petani Asia Tenggara, model ini memusatkan perhatian pada apa yang dipikirkan dan diyakini oleh petani mengenai dunia mereka, pada pandangan hidup digunakan untuk memahami dan menjelaskan tindakan-tindakan mereka. Di sini moral memainkan pernanan penting. Motivasi-motivasi moral seseorang dianggap dibentuk oleh cultural specific belief systems and values. Perilaku manusia dan pilihan-pilihan yang dibuatnya dianggap dibimbing oleh a desire to do what is right, dimana nilai moral ini bersumber pada suatu kosmologi, yakni a culturally patterned view of the universe and the human place within it . Menurut perspektif ini manusia yang bermoral adalah the believers atau orang-orang beriman yang tindakan-tindakannya selalu dibimbing oleh ideas of right and wrong yang mereka pelajari, ketahui dan terima ketika mereka tumbuh dewasa. They have a moral sense grounded in a view of the way the world works. Jadi di sini ada asumsi bahwa jagad moral manusia menentukan atau mempengaruhi perilaku dan pilihan-pilihan yang dijatuhkan oleh manusia .
Berkenaan dengan perbedaan pola perilaku antara petani dan wirausahawan, Schejtman (1984) mengemukakan bahwa hal itu terlihat terutama pada perilaku atau sikap mereka dalam menghadapi resiko, dalam risk internalization-nya. Seorang wirausahawan memandang resiko atau ketidak pastian yang bergandengan dengan keuntungan dapat dipandang sebagai fungsi-fungsi dari probabilitas. Fungsi-fungsi ini memaksanya menemukan a degree of propornationality between profit and risk. Dengan kata lain, di balik resiko usaha selalu tersembunyi keuntungan yang mungkin sangat besar dan dapat diraih, asal seseorang dapat mengambil keputusan atau menentukan strategi yang tepat.
Sedangkan perilaku petani menurut Schejtman; vulnerability to effects of an adverse result is so extreme that…it seem appropriate to take the view that his behavior as a producer is guided by a kind of “survival algorithm” which leads him to avoid risk despite the potential profits which would arise if he accepted them. Survival algorithm. Perilaku inilah yang dalam tulisan Scott disebut sebagai prinsip “utamakan selamat” (safety first) dan dianggap juga oleh Schejtman sebagai sebuah ketidakrasionalan (irrationality), karena berbeda dengan rasionalitas yang ada di kalangan wirausahawan. Dalam analisis Schejtman dikatakan bahwa gejala-gejala empiris yang ada dalam ekonomi petani dianggap tidak rasional bila menganut anggapan adanya suatu universal rationality. Masalahnya kemudian adalah, tepatkah asumsi tersebut? Jangan-jangan rasionalitas yang dimaksud adalah rasionalitas yang ada dalam pertanian komersial atau dalam masyarakat kapitalis saja? Jika memang demikian, dapatkan ia dianggap sebagai sesuatu yang universal?
Pandangan filosofis EM di atas berlawanan dengan pandangan yang terdapat dalam ER yang menjadi dasar studi Popkin mengenai petani Asia Tenggara. Popkin menggunakan pendekatan yang dia sebut sebagai pendekatan “ekonomi politik” (political economy), tetapi bukan ekonomi-politik sebagaimana biasa dipahami dalam ilmu ekonomi pembangunan. Popkin beranggapan bahwa manusia adalah homo economicus atau pelaku yang rasional yang selalu melakukan perhitungan, terus-menerus memperhitungkan bagaimana di tengah situasi yang dihadapi dia dapat meningkatkan kehidupan dan kesejahteraannya atau paling tidak mempertahankan tingkat kehidupan yang tengah dinikmatinya .
Bagi Popkin asumsi tersebut lebih kokoh sebagai dasar kajian daripada pandangan romantis tentang manusia komunal (communal man) yang digunakan oleh Scott atau penganut pandangan EM lainnya. Popkin juga berasumsi bahwa meskipun para petani pada umumnya miskin dan hidup dekat dengan batas minimum (close to the margin), namun tetap ada saat-saat dalam kehidupan mereka ketika mereka memang memiliki surplus dan berani menanamkan modal walaupun penuh dengan resiko. Dalam pendekatan ini Popkin emphasizes individual decision making and strategic interaction .
Jelas bahwa Popkin menggunakan pendekatan keputusan. Dalam hal ini dia mengikuti analisis ilmu ekonmi yang mengasumsikan adanya sejumlah pelaku dengan tujuan-tujuan tertentu. Di sini dia berupaya mengetahui bagaimana pelaku-pelaku ekonomi akan bertindak ketika menghadapi berbagai pilihan, dengan asumsi bahwa mereka mengejar tujuan secara rasional. Artinya para pelaku ekonomi evaluate the possible outcomes associated with their prefferences and values. In doing this, they discount the evaluation of each outcome in accordance with their subjective estimate of the likelihood of the outcome”. Asumsi yang lain adalah they make the choice wich they believe will maximize their expected utility .
Mengenai petani, Popkin beranggapan bahwa seorang petani; Pertama, memperhatikan kesejahteraan dan keamanan diri dan keluarganya. Apapun nilai-nilai dan tujuan hidupnya, dia akan bertindak in a self interested manner ketika dia memperhitungkan kemungkinan memperoleh hasil yang diinginkan atas dasar tindakan-tindakan individual. Kedua, hubungan petani dengan pihak lain tidak selalu didasarkan pada beberapa prinsip moral yang umum, tetapi pada kalkulasi apakah hubungan-hubungan semacam itu dapat atau mungkin menguntungkan diri dan keluarganya, ataukah tidak. di sini konsep atau sosok petani yang pasrah dan hampir selalu tunduk pada aturan-aturan sosialnya diganti dengan konsep manusia (petani) ekonomis yang universal (universalized econmomic man) yang mengambil keputusan di tengah sejumlah kendala dan tantangan.
Debat tentang perilaku petani antara penganut EM dan ER di atas akhirnya tidak memenangkan salah satu pihak, tetapi membuka semacam jalan tengah yang mengakui kebenaran masing-masing. Menurut pandangan “poros tengah” ini, EM yang dikemukakan Scott pada dasarnya juga dapat dikatakan sebagai ER, namun rasional dalam konteksnya sendiri, atau bisa juga rasional dalam arti bahwa meskipun petani menentukan pilihan berdasarkan moralnya, hal itu sebenarnya merupakan suatu bentuk rasionalitas juga. Di lain pihak, suatu pilihan yang tampak rasional pada dasarnya adalah juga sebuah pilihan yang berdasarkan moralitas tertentu. Berangkat dari perdebatan di atas, ekonomi etis berusaha menjembatani antara aspek rasionalitas dan moralitas dalam ekonomi.
Di Indonesia, nama Mubyarto sudah sejak lama dikenal sebagai pakar ekonomi yang mengusung “ekonomi pancasila” sebagai rumusan “ekonomi-etis”. Gambaran tentang ekonomi yang berjalin erat dengan etika sebagai watak dasarnya inilah yang disebut oleh Mubyarto dengan istilah “ekonomi etis”, yaitu “ilmu ekonomi yang tidak mengajarkan keserakahan manusia atas alam benda, tetapi justru mampu mengajar manusia untuk mengatur dan mengendalikan diri”. Dengan perkataan lain, ekonomi etis berbeda dengan paradigma konvensional, tidak mengacu pada sifat manusia sebagai homo economicus yang cenderung serakah, sebaliknya sebagai manusia etik yang utuh atau manusia seutuhnya. Manusia etik yang utuh selalu berusaha mengendalikan pemenuhan kebutuhan sampai batas-batas yang pantas dan wajar sesuai ukuran-ukuran sosial dan moral.
Pertanyaannya adalah; sistem etika mana dan seperti apa yang akan dijadikan sebagai pijakan? Cukup menarik pernyataan Scott di atas, bahwa pelaku ekonomi moral adalah the believers atau orang-orang beriman. Artinya, jika pandangan Scott ini dijadikan parameter, maka pertanyaan di atas sudah terjawab dengan sendirinya. Etika yang dimaksud tidak lain adalah etika agama. Tetapi, bukankah setiap agama mengajarkan sistem etikanya masing-masing? Jika demikian, etika agama yang mana yang akan dipakai?
Tanpa bermaksud apologis, etika yang dipilih sebagai landasan ekonomi etis di sini adalah etika Islam. Sebab, dibandingkan dengan sistem etika manapun etika Islam adalah satu-satunya yang menjaga keseimbangan antara aspek diniawi dan ukhrawi. Ajaran-ajaran etika Islam tidak semata-mata mengarahkan penganutnya untuk tunduk secara absolut di bawah kehendak Tuhan. Pada sisi lain Islam juga tidak memberikan kebebasan tanpa batas kepada manusia dalam berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomiknya. Banyak dijumpai ayat al-Qur’an maupun hadis yang mengajarkan agar antara kedua aspek tersebut dijalankan secara berimbang. Munculnya perdebatan antara EM dengan ER dikarenakan adanya penempatan aspek rasionalitas dan moralitas pada dua kutub yang saling bertentangan. Padahal, jika keduanya diletakkan secara sejajar, mestinya pertentangan itu tidak terjadi. Dan pandangan yang berhasil meletakkan rasionalitas dan moralitas secara berimbang adalah ajaran etika Islam.
Untuk mengurai masalah ini lebih jauh, ada baiknya mendiskusikan ulang sekilas perbandingan sistem etika agama-agama yang ada dalam kaitannya dengan ekonomi. Di sini penulis akan menyampaikan sekilas penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa sarjana semacam Weber, Geertz dan beberapa sarjana muslim.
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa Weber pernah melakukan penelitian tentang etika ekonomi dalam agama protestan serta agama-agama non-Barat seperti Konfusianisme dan Taoisme di Cina, Hinduisme dan Budhisme di India, Judaisme Klasik dan Islam. Dalam kesimpulannya, Weber menyatakan bahwa pemeluk agama-agama non Barat yang dia bahasakan dengan masyarakat pra-industri, sejatinya telah memiliki infrasrtruktur teknologi dan prasyarat-prasyarat penting lainnya untuk memulai kapitalisme dan ekspansi ekonomi, dimana infrastruktur dan prasyarat-prasyarat tersebut termanifestasikan dari ajaran etika agamanya. Sayangnya, kapitalisme tetap gagal untuk tumbuh dan berkembang.
Konfusianisme oleh Weber digambarkan sebagai doktrin dan ritus yang dipaksakan terhadap masyarakat Cina oleh kelas birokrat atau literati. Etika Konfusianisme mencakup etika konvensi dan kontrol diri yang masih terikat dengan masalah-masalah praktis demi kepentingan birokratis. Dalam aktualisasinya, etika ini mendorong para pemeluknya untuk mengembangkan seni kaligrafi yang rumit, tetapi tidak mengandung perkembangan dalam penalaran. Etika ini mengabaikan konflik dan lebih menekankan pada terciptanya “harmoni”. Keselamatan seseorang terletak pada pembebasan orang tersebut dari perilaku barbar dan stagnasi. Sedangkan satu-satunya dosa adalah dosa yang dilakukan terhadap otoritas yang lebih tua (tinggi), seperti nenek-moyang, atasan, dan adat-tradisi. Kebalikannya, kebajikan adalah kesehatan, panjang umur, kekayaan dan nama baik setelah mati.
Sekalipun etika Konfusianisme mengandung semangat untuk meraih kekayaan yang besar dan menggunakannya untuk kesempurnaan moral, mengajarkan harmoni dan kebebasan berusaha dan memilih usaha, tetap saja masih jauh dari spirit kapitalis. Hal ini menurut Weber dikarenakan Cina tidak mampu menerapkannya untuk mengembangkan aktivitas bisnis secara terorganisir dan sistem moneter yang baik.
Sedangkan ajaran etika Taoisme dan Budhisme malah dengan terang-terangan menarik diri dari hal-hal yang bersifat keduniaan. Ini dikarenakan yang menjadi tujuan akhir dalam ajaran kedua agama tersebut berupa penyatuan pada sifat adikodrati. Pemeluk kedua agama ini lebih mementingkan hal-hal yang bersifat magis, karena hal-hal inilah yang dianggap bertanggung atas nasib dan takdir manusia di bumi, seperti kesejahteraan materi dan lain sebagainya. Untuk mempengaruhi kekuatan magis tersebut, perlu diadakan ritual pemujaan.
Dalam ranah etika Islam, al-Ghazali merupakan salah satu nama dari sekian banyak tokoh di bidang tersebut yang paling populer. Sementara itu dalam studi etika modern, Max Weber dapat dianggap sebagai peletak dasar pandangan yang mengaitkan secara langsung antara etika agama dengan ekonomi. Kajiannya yang mengaitkan antara etika agama dengan ekonomi diuraikan dalam salah satu tesisnya yang terkenal, "etika Protestan" (Protestant ethic). Baik al-Ghazali maupun Weber memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam perkembangan studi etika pada umumnya dan etika ekonomi secara khusus. Karena itu, penting untuk mengulas pemikiran kedua tokoh tersebut untuk mendapatkan landasan epistemologis yang kuat bagi ekonomi etis.
Protestant ethic merupakan klimaks dari pemikiran Weber dimana dalam tesis tersebut Weber membicarakan tentang korelasi antara dua konsep, "Protestanisme" dan "Kapitalisme". Weber membangun tesisnya setelah melakukan pengamatan ilmiah tehadap salah satu sekte dalam agama Protestan, yaitu Calvinisme.
Dua kata kunci untuk memahami Protestant Ethic-nya Weber adalah "Rasionalitas" (Rationalitat) dan "Reformasi". Rasioalitas yang dimaksud oleh Weber bermakna rasionalitas yang merembes ke dalam semua bidang perilaku sosial, organisasi buruh dan manajemen, ilmu-ilmu kreatif, hukum dan ketertiban, filsafat dan seni, negara dan politik, serta bentuk-bentuk dominan kehiduban privat. Rasionalitas ini didorong oleh dinamika internalnya sendiri setelah menundukkan setiap bentuk perlawanan yang diberikan oleh fitrah manusia pra-rasional, magis dan tradisi, instink dan spontanitas. Rasionalitas Weber mengandung pengertian keseluruhan dari sikap terhadap kehidupan yang dikondisikan oleh banyak hal namun tetap unik dan menjelma sebagai "etos Barat". Pada gilirannya, etos normatif ini dimanifestasikan dalam "semangat Kapitalisme burjois.
Untuk membentuk sikap rasional tersebut serta mentransformasikannya menjadi semangat Kapitalisme, Weber menawarkan suatu langkah yang disebut dengan "reformasi". Reformasi menangandung pengertian sebagai upaya untuk menembus sisi gelap keyakinan-keyakinan pra-rasional tersebut berupa sikap hidup irrasional, ketertundukan mutlak dan seterusnya, kemudian menggantinya dengan sikap kritis dan ilmiah. Ini bukan berarti Weber menolak sama sekali agama, sebaliknya ia menghormati apa yang dia sebut nilai-nilai moral dan etisnya. Inilah yang dimaksud dengan reformasi oleh Weber dan sekaligus berfungsi sebagai simpul penghubung antara teori ekonomi pada satu ujung dengan dokrin agama pada ujung lainnya. Meskipun disadari bahwa tipe ekonomi tertentu sebenarnyalah bukan produk langsung dari suatu keyakinan agama tertentu, akan tetapi sikap rasionalitas yang dikembangkan dari nilai-nilai agama dapat menumbuhkan sikap kritis dan rasionalitas pemeluknya, serta menjadi faktor penting bagi pembentukan suatu sistem (dan ilmu) ekonomi yang progresif.
Dari penjelasan tersebut, yang perlu diperhatikan dalam pembacaan terhadap Protestant Ethic-nya Weber adalah bahwa ia tidak berbicara tentang Kapitalisme sebagai sebuah faham, idiologi atau aliran dalam ekonomi. Yang menjadi pusat perhatian Weber adalah "semangat Kapitalisme". Demikian juga halnya Weber tidak berbicara tentang Protestan sebagai agama atau doktrin teologis, tetapi tentang "etika protestan". Dalam konteks ini, kata "Kapitalisme" atau "semangat Kapitalisme" digunakan dalam pengertian seluruh struktur budaya yang mengatur sikap hidup masyarakat Barat, dimana modus operasi ekonominya menjadi bagian dari suatu sistem budaya yang teramat kompleks.
Pendapat al-Ghazali tentang ilmu ekonomi dapat dilacak melalui klasifikasinya terhadap cabang-cabang ilmu pengetahuan. Ia mengklasifikasi ilmu pengetahuan menjadi beberapa katergori. Dari beberapa tulisannya, antara lain kita>b al-‘ilm dalam Ih}ya>, ar-Risa>lah al-Ladu>niyyah, Mi>za>n al-‘Amal dan Jawa>hir al-Qur’a>n dapat ditemukan empat sistem klasifikasi ilmu yang berbeda-beda, yaitu; ilmu teoritis dan praktis; ilmu h}ud}u>ri> dan ilmu h}us}u>li>; ilmu syar’iyyah dan ilmu ‘aqliyyah, serta ilmu-ilmu fard}u ‘ain dan fard}u kifa>yah.
Dari keempat sistem klasifikasi ilmu tersebut, al-Ghazali menempatkan ilmu ekonomi ke dalam klasifikasi ketiga sekaligus keempat. Aspek lain yang turut mewarnai pemikirannya adalah pandangannya tentang keterkaitan antara tashawuf dan fiqh. Sebagaimana diketahui, dia dianggap sebagai tokoh yang berjasa besar dalam memadukan unsur-unsur tashawuf dan fiqh dengan jalan mendekonstruksi tashawuf menjadi dua bagian, yaitu tashawuf yang mengkaji ilmu-ilmu mu’a>malah dan yang lain mengkhususkan pada ilmu-ilmu muka>syafah. Ilmu mukasyafah dibedakan menjadi dua macam, yaitu yang disebut dengan z}a>hir (external knowledge) dan ba>t}in (internal knowledge). Yang pertama menjadi pokok kajian dalam kitab Ih}ya>, sedangkan yang kedua menjadi pokok kajian dalam karya-karyanya yang lain seperti Misyka>h al-Anwa>r. Menurut al-Ghazali tashawuf yang mengkaji ilmu-ilmu mu’amalah memilih obyek kajian yang sama dengan ilmu fiqh, yaitu seputar kewajiban-kewajiban agama. Tetapi perspektif yang dipakai berbeda. Jika ilmu fiqh memfokuskan pada aspek pelaksanaan jasmaniah, maka tashawuf lebih kepada aspek pelaksanaan spiritualnya.
Ketika berbicara tentang obyek materialnya, al-Ghazali mengkategorikan ekonomi Islam sebagai bagian dari ilmu-ilmu syar'iyyah. Sedangkan ketika berbicara kerangka hukumnya, dikategorikan ke dalam ilmu-ilmu dengan kategori fard}u 'ain. Al-Ghazali menyatakan bahwa hukum mempelajari ilmu ekonomi adalah wajib bagi setiap muslim yang bekerja (kullu muslim muktasab) sebagaimana kewajiban menuntut ilmu yang lain. Hukum wajib mempelajari ilmu ekonomi (iqtis}a>d) ini terkait erat dengan tujuannya, yaitu untuk menghindari kesulitan dalam bermu’amalah dan hal-hal yang dapat menjerumuskan kepada larangan-larangan agama.
Al-Ghazali sendiri tidak menggunakan istilah ekonomi, melainkan sebagaimana kebanyakan tokoh ekonomi Islam sesudahnya, lebih memilih istilah ‘ilm al-kasb (ilmu tentang tata cara mencari rizqi), ‘ilm al-‘uqu>d (ilmu tentang tata-cara melakukan kontrak dalam Islam) dan iqtis}a>d. Istilah terakhir belakangan menjadi populer di kalangan para pemikir ekonomi Islam sebagai sebutan yang paling tepat daripada ekonomi Islam. Kata iqtis}a>d yang berasal dari kata qas}ada mempunyai arti “seimbang” (equilibrium, balanced) dan tengah-tengah (in between). Dalam al-Qur'an istilah iqtis}a>d disebutkan sebanyak enam kali.
Dalam pembacaan terhadap ekonomi Islam, al-Ghazali meniscayakan keterlibatan tiga kategori konstruk nalar. Konstruk nalar yang dimaksud adalah nalar syar’iyyah, nalar falsafiyah dan nalar s}u>fiyah. Ketiganya merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan bukan merupakan suatu susunan hierakis. Namun demikian masing-masing mempunyai dominasi tertentu dalam pemakaiannya. Nalar syar’iyyah berperan ketika membahas masalah-masalah yang terkait erat dengan hukum Islam (fiqh) dan us}u>l fiqh sebagai kerangka formil ekonomi Islam, seperti ketika hendak melakukan interpretasi terhadap al-Qur’an, sunnah dan teks-teks keagamaan yang lain (a>s|ar, khabar dan pendapat para ‘ulama). Nalar falsafiyah jelas berperan dalam menganalisis aspek logikanya. Sedangkan nalar s}u>fiyah erat kaitannya analisis aspek normatif-etis ekonomi Islam. Dengan mengikuti anatomi bangunan ilmu ekonomi, ketiga nalar tersebut dapat dipergunakan dengan struktur sebagai berikut; Nalar syar’iyyah berbicara tentang aspek legal formal ekonomi, nalar falsafiyah berbicara pada aspek filosofis ekonomi dan nalar s}u>fiyah dipergunakan untuk membahas aspek normatif dan aspek transendensi ekonomi.
Penggunaan ketiga nalar tersebut dalam membahas ekonomi sejalan dengan konstruksi ekonomi Islam yang oleh para ekonom Islam sedang dibangun dewasa ini, bahkan lebih menyentuh pada aspek yang paling fundamental. Sebab, ketika membahas ekonomi al-Ghazali tidak membatasi diri ada aspek-aspek luarnya saja, tetapi mengaitkannya dengan aspek-aspek lain yang lebih mendasar. Sebagai contoh, ketika berbicara tentang motif-motif ekonomi masyarakat, ia mendasarkan pada pandangannya terhadap eksistensi manusia sebagai homo-economicus sekaligus makhluk religius. Menurutnya, manusia dilahirkan dengan membawa naluri untuk melakukan kegiatan ekonomi. Hal ini didorong akan upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (al-isytiga>l ad-dunyawiyah), yaitu kebutuhan akan makan, tempat tinggal dan pakaian. Selain itu ia tidak dapat hidup sendiri tanpa ketergantungan pada orang lain. Karena itu memerlukan hidup bermasyarakat bahkan bernegara. Keinginan untuk hidup bermasyarakat ini didorong oleh dua faktor, yaitu; melangsungkan keturunan dan memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi, seluruh rangkaian perilaku manusia itu harus dilaksanakan menurut aturan-aturan baku yang telah digariskan oleh agama melalui wahyu.
Tawaran al-Gazali di atas memberikan arahan yang jelas dan integral bagi teoretisasi ekonomi Islam melalui metode saintifikasi ajaran moral agama (Islam) di bidang ekonomi meliputi semua aspeknya. Ini berbeda dengan metode Islamisasi sebagaimana diajukan oleh berbagai kalangan. Sebab sebagaimana disebutkan di atas metode Islamisasi menanggung beban-beban ideologis yang sangat mungkin dapat mereduksi obyektifitas keilmuan yang dibangun. Hal ini dikarenakan oleh sulitnya memilah-milah bagian mana yang menjadi wilayah “imani” yang merupakan norma agama, serta mana yang menjadi wilayah keilmuan yang harus disikapi secara ktiris. Pencampur adukan kedua wilayah tersebut tidak jarang justru menggiring pada apa yang disebut Kuntowijoyo dengan “mistifikasi ilmu”, sebagaimana terjadi di dunia Islam selama ini.
C. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya teoretisasi ekonomi Islam dapat dimulai dengan melakukan redefinisi dan menggeser paradigma ekononi Islam menuju ekonomi etis melalui proses saintifikasi nilai moral ajaran Islam di bidang ekonomi. Jika tawaran al-Ghazali yang digunakan sebagai kerangka metodologisnya, maka langkah teoretisasi tersebut harus diawali dengan pemetaan tiga nalar berfikir, yaitu nalar syar’iyyah, nalar falsafiyyah dan nalar s}u>fiyyah. Dari ketiga nalar inilah dapat diderivasikan kerangka keilmuan ekonomi etis sebagai pengganti ekonomi Islam, baik dalam ranah legal-formal, ranah filsafat atau ilmiah serta ranah etisnya.
D. Daftar Pustaka
Ahmad Sherif, Muhammad., Ghazali Theory of Virtue, ed. 1, Albania: State University of New York Press, 1975.
Agustianto, Kegagalan Kapitalisme; Perspektif Ekonomi Islam; www.Waspada Online.com., diakses tanggal 9 Desember 2007.
Anwar, Syamsul, “Epistemologi Hukum Islam; Kajian terhadap Kitab al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul Karya al-Ghazali”, penelitian tidak diterbitkan. Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1997/1998.
Asy’arie, Musa, Islam; Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, cet. 1, Yogyakarta: LeSFI bekerjasama dengan IL, 1997.
Bakar, Osman., Hierarki Ilmu; Membangun Rangka-pikir Islamisasi Ilmu Menurut al-Farabi, al-Ghazali dan Qutb ad-Din as-Sirazi, alih bahasa Purwanto, Cet. 1, Bandung:Mizan, 1997.
Bartens. K., Pengantar Etika Bisnis, cet. 5, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Capra , Firtjof, The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture, New York: Bantam Book, 1997.
Chapra,, M. Umer, Masa Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam, terj. Ikhwan Abidin Basri, cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Al-Gaza>li>, Abu> H{a>mid Muh}ammad ibn Muh}ammad, Ih}ya> ‘Ulu>m ad-Di>n, Semarang: Syirkah Nu>r Asia, tt.
_________, Tah}a>fuf al-Fala>sifah , Sulaima>n Dunya> (ed), cet. 4, Mesir: Da>r al-Ma’a>rif, 1966.
Al-Hasani, Baqir dan Abbas Mirakhor (ed), Essays on Iqtisad; Islamic Approach to Economic problems, cet. 1, Silver Spring USA: NUR Corp, 1989.
Al-Isfaha>ni>, Ar-Ragi>b, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n, ttp: Maktabah Murtad}awiyah, 1362 H.
Luethy, Herbert., "Sekali lagi: Calvinisme dan Kapitalisme" dalam dennis Wrong (ed.), Max Weber, Sebuah Khazanah, terj. A. Asnawi, cet. 1, Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003.
Mubyarto, “Etika Keadilan Sosial dalam Islam”, dalam Mubyarto dkk., Islam dan Kemiskinan, cet. , 1, Bandung: Penerbit PUSTAKA, 1988.
Mugniyah, Muh}ammad Jawwa>d, at-Tafsi>r al-Kasysya>f, Beirut: Da>r al-Fikr, 1968.
Nasution, Khoiruddin, "Wilayah Kajian dan Filsafat Ekonomi Islam”, jurnal Millah, Vol. II/2/Januari 2002.
Nugroho, Heru., “Rasionalisasi dan Pemudaran Pesona Dunia: Pengantar untuk Max Weber”, Ralph Schroeder, Max Weber; Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, cet. 1 Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Rahardjo, M. Dawam, Etika Ekonomi dan Manajemen, cet. 1, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1990.
________, “Sekapur-sirih tentang Aksiologi Ekonomi Islam”, dalam Syed Nawab Heidar Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi; Suatu Sintesis Islami, terj. Husin Anis dan Asep Hikmat, cet. 3, Bandung: Mizan, 1993.
Shri Ahimsa-Putra, Heddy, dkk., dalam Ekonomi Moral, Rasional, dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa; Esei-esei Antropologi Ekonomi, cet. 1, Yogyakarta: KEPEL Press, 2003.
Winardi, Ilmu Ekonomi dan Aspek-aspek Metodologisnya, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
A. Latar Belakang; Paradoks Ekonomi Islam
Sejak tahun 90-an ekonomi Islam dengan berbagai instrumen yang menyertainya menjadi salah satu topik “perbincangan ilmiah” di Indonesia. Perbincangan tersebut pada akhirnya mengarah pada tanggapan yang positif dari kalangan akademisi maupun praktisi, dimana banyak perguruan tinggi (khususnya PTAI) yang membuka program studi Ekonomi Islam atau program lain yang masih berada dalam rumpun keilmuannya. Sebaliknya di kalangan praktisi, issu ekonomi Islam ditindak lanjuti dengan pendirian berbagai lembaga keuangan syari’ah yang belakangan menjadi salah satu kekuatan ekonomi di Indonesia bahkan di dunia.
Salah satu sebab pesatnya perkembangan ekonomi Islam di Indonesia diyakini karena system yang tebangun di dalamnya memiliki keunggulan komparatif jika dibandingkan dengan beragam sistem ekonomi (konvensional) yang datang silih berganti. Meskipun demikian, dari sudut pandang akademik masih dijumpai berbagai persoalan mendasar yang menjadikan perkembangan ekonomi Islam tidak seperti yang diharapkan. Persoalan tersebut terutama terletak pada belum ditemukannya rancang bangun epistemology yang kokoh sebagai pijakan bagi keilmuannya. Sejauh ini secara umum pandangan keilmuan ekonomi Islam di Indonesia (sebagaimana di negara lain) terbelah menjadi tiga arus besar, yaitu;
Pertama, arus pemikiran yang meniscayakan otoritas teks-teks liturgis sebagai sumber keilmuan ekonomi Islam; Kedua, arus pemikiran pragmatis yang mengambil jalan pintas dengan mengambil instrument ilmu ekonomi konvensional sebagai kerangka teoretis ekonomi Islam melalui modus Islamisasi, dan; Ketiga, arus tengah yang mencoba mendamaikan perdebatan dua model pemikiran sebelumnya dengan cara mengintegrasikan kuasa teks liturgis sebagai sumber material dan landasan etis, dengan instrumen-instrumen ilmu ekonomi (konvensional) sebagai kerangka teoretisnya. Dari perdebatan ketiga arus pemikiran di atas dapat dimunculkan sebuah pertanyaan besar; Bagaimanakah sebenarnya rumusan atau rancang bangun keilmuan ekonomi Islam (syari’ah)?
Sementara itu dari sisi praksis, seringkali dijumpai (atau paling tidak anggapan umum) bahwa praktik lembaga-lembaga keuangan syari’ah sebagai kepanjangan tangan ekonomi Islam masih jauh dari ideal, dalam arti “alih-alih menerapkan prinsip syari’ah, model-model transaksi yang selama ini diterapkan masih mengkopi begitu saja dari perbankan konvensional”. Akibatnya jangan heran jika banyak tuduhan kalau perbankan syari’ah pada dasarnya tidak berbeda dengan perbankan konvensional, BMT tidak lain dari rentenir berbaju syari’ah dan seterusnya. Jika tuduhan-tuduhan di atas benar, sebuah pertanyaan serius patut diajukan; Mampukah ekonomi Islam menjadi alternatif bagi kegagalan system ekonomi konvensional?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penulis mengajukan sebuah hipotesis bahwa pada hakikatnya ekonomi Islam lahir dari pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama Islam itu sendiri, khususnya di bidang mu’a>malah ma>liyah. Akan tetapi, harus disadari bahwa ajaran Islam (dan agama pada umumnya) biasanya dicirikan oleh dua hal; Pertama, hanya memberikan garis-garis normative; Kedua, sangat terikat dengan latar belakang social-budaya yang membentuknya pada konteks ruang dan waktu yang telah lampau. Oleh karena itu menerapkan ajaran agama begitu saja tanpa adanya upaya kontekstualisasi acapkali berujung pada kegagalan. Hal yang mungkin dilakukan adalah manarik ajaran tersebut menjadi sebuah system pengetahuan (ekonomi Islam) dari sisi etikanya. Karena itulah penulis mengajukan terminologi “ekonomi etis” sebagai pengganti istilah “ekonomi Islam” yang selama ini dikenal. Pemikiran ini antara lain didasarkan pada kenyataan bahwa penggunaan terminologi ekonomi Islam dihadapkan pada beban-beban epistemologis, metotologis maupun ideologis yang dapat menghambat upaya teoretisasi ekonomi Islam itu sendiri.
B. Pembahasan
1. Keterkaitan Etika dan Ekonomi
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, dari akar kata tunggal ethos yang memiliki banyak makna, antara lain; tempat tinggal yang khas, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) memiliki arti adat kebiasaan. Arti terakhir inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh Aristoteles (384-322 S.M.) dipakai dalam arti filsafat moral. Jika pengertian etika dibatasi pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat-istiadat.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) versi 1953 yang ditulis oleh Poerwadarminta, “etika” dijelaskan dalam arti tunggal sebagai “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak atau moral”. Dengan kata lain etika adalah sebuah ilmu. Tetapi jika melihat uraian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, “etika” dijelaskan dalam tiga strata makna. Pertama, ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Kedua, kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Ketiga, nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Bartens membedakan arti etika dalam tiga tingkat yang berbalik. Pertama, kata “etika” bisa dipakai dalam arti nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah-lakunya. Dalam pengertian ini orang mengenal apa yang disebut “etika suku-suku Indian”, “etika (agama) Budha”, “etika (agama) Protestan” (Protestant ethic), dan mungkin juga “etika (agama) Islam”. Arti-arti ini tidak menempatkan etika sebagai ilmu, tetapi sebagai sebuah “sistem nilai”. Kedua, etika berarti pula kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik, atau sekumpulan etika yang disepakati berlakunya dan mengatur bagi sebuah komunitas atau institusi tertentu. Ketiga, etika mempunyai arti “ilmu tentang yang baik atau buruk”. Etika menjadi ilm jika kemungkinan-kemungkinan etis yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat tanpa melalui proses sadar, menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika pada tahap ini sama artinya dengan filsafat moral.
Ketika ditarik pada wilayah studi ekonomi, etika dibedakan menjadi ‘praksis’ dan ‘refleksif’ ini melahirkan apa yang disebut dengan ekonomi sebagai ‘refleksi’ (atau ilmu) dan ekonomi sebagai ‘praksis’ atau kegiatan ekonomi. Pada ranah ekonomi ekonomi dapat dijalankan pada tiga tahap; makro, meso dan mikro. Pada tahap makro etika ekonomi mempelajari aspek-aspek moral dari sistem ekonomi secara keseluruhan. Misalnya masalah keadilan, aspek-aspek etis kapitalisme, keadilan sosial, utang Negara, dan sebagainya. Pada tahap meso etika ekonomi mempelajari masalah-masalah etis di bidang organisasi. Misalnya perusahaan, lembaga konsumen, perhimpunan profesi dan sebagainya. Sedangkan pada tahap mikro etika ekonomi membahas tentang individu dalam hubungannya dengan ekonomi atau bisnis. Misalnya tanggung jawab etis manajer, karyawan, majikan dan sebagainya.
Meskipun demikian, di kalangan ekonom sendiri terdapat perdebatan berkepanjangan dalam hal apakah ilmu ekonomi merupakan ilmu yang sarat dengan muatan nilai dan etika ataukah sebaliknya, bebas dari unsur-unsur tersebut (wertfrei, value free). Sebab masuknya unsur etika dalam kawasan ilmu ekonomi menimbulkan problem epistemologis yang cukup serius. Bagi yang berpendapat bahwa ilmu ekonomi merupakan cabang ilmu yang sarat dengan nilai, maka yang menjadi pertanyaan mendasarnya adalah What augh to be. Sedangkan yang beranggapan ilmu ekonomi bebas dari muatan nilai maka pertanyaan mendasar adalah What is. Karena itu sebagian ahli memilah ilmu ekonomi menjadi dua macam, yaitu ilmu ekonomi positif dan ilmu ekonomi normatif. Yang pertama menyajikan dan menyelidiki fakta sebagaimana adanya sedangkan yang kedua memasukkan unsur-unsur nilai seperti baik-buruk, layak-tidak layak dan sebagainya. Ada pula yang berpendapat bahwa etika ketika memasuki kawasan ilmu ekonomi hanya dapat dilihat dalam praktek ekonomi bukan pada teorinya.
Menurut Bartens terdapat kaitan yang sangat erat antara etika dengan ekonomi, baik sebagai ilmu pengetahuan maupun sebagai aktifitas bisnis. Bartens menyebutkan suatu istilah yang menunjukkan keterkaitan tersebut, yaitu etika ekonomi. Menurutnya, etika ekonomi adalah pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi. Moralitas berarti baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan karenanya diperbolehkan atau tidak, dari perilaku manusia. Moralitas selalu berkaitan dengan apa yang dilakukan manusia, dan kegiatan ekonomis merupakan satu bidang perilaku manusia yang penting. Tidak mengherankan jika sejak dahulu etika juga menyoroti ekonomi.
Belakangan, etika ekonomi menjadi satu kajian yang serius di berbagai belahan dunia. Cara-cara studi ekonomi an sich yang bersifat positifistik dirasakan tidak lagi memadai dan mampu menjawab tantangan-tantangan isu ekonomi global saat ini yang acap kali dikaitkan dengan tanggung jawab sosial dan moral. Artinya ekonomi sekalipun tidak mungkin memisahkan diri dari aspek-aspek etika. Seorang pakar ekonomi (ekonom) dan pelaku ekonomi (entrepreneur) harus mempelajari etika-etika yang berlaku dalam dunia ekonomi.
Bartens menyatakan bahwa setidaknya terdapat tiga tujuan utama yang hendak diraih dalam mempelajari etika ekonomi, yaitu; Pertama, untuk menanamkan atau meningkatkan kesadaran akan adanya dimensi etis dalam (ekonomi dan) bisnis; Kedua, Memperkenalkan argumentasi moral, khususnya di bidang ekonomi dan bisnis, serta membantu pelaku ekonomi dan bisnis dalam menyusun argumetasi moral yang tepat; Ketiga, Membantu pelaku ekonomi dan bisnis untuk menentukan sikap moral yang tepat di dalam profesinya. Tujuan ketiga ini berkaitan erat dengan pertanyaan yang sudah lama dipersoalkan dalam etika, bahkan sejak awal sejarah etika pada era Sokrates (abad ke-55 SM).
Menanggapi begitu eratnya keterkaitan antara etika dengan ekonomi, dengan menutip pendapat Sjafruddin Prawiranegara, Dawam Rahardjo menyimpulkan bahwa ekonomi, baik dalam arti ilmu ataupun kegiatan, di mana-mana adalah sama. Aspek yang membedakan antara satu sistem ekonomi dengan lainnya adalah moral ekonominya. Karena itu, yang bisa dipelajari secara lebih khusus adalah etika ekonominya. Bahkan etika di sini oleh beberapa pemikir dipersempit lagi menjadi etika agama, misalnya menurut ajaran Islam, atau salah satu tokoh yang dianggap memiliki pemikiran di bidang “etika ekonomi” tersebut, misalnya Keynes, Weber, Marx, Ibn Taymiyah, Ibn Khaldun, al-Ghazali dan seterusnya.
Jika pada masa-masa awal kelahirannya perbincangan tentang ekonomi terintegrasi dengan etika, ekonomi modern justru bergerak semakin menjauh dari etika, seolah-olah keduanya mencari identitas sendiri-sendiri sebagai dua cabang ilmu yang tidak saling berkaitan satu dengan lainnya. Itulah sebabnya kemunculan studi etika ekonomi akhir-akhir ini tidak lepas dari kritik pedas dari berbagai kalangan_termasuk dari para ekonom sendiri_setelah melihat sebuah kenyataan bahwa saat ini ekonomi dalam arti sebagai ilmu maupun aktifitas bisnis kian jauh dari nilai-nilai etika.
Kritik yang ditujukan pada ekonomi sebagai ilmu bukan dimaksudkan untuk menggugat kesahihan bangunan epistemologis keilmuannya, melainkan justru ditujukan pada perkembangan ilmu ekonomi yang semakin “sempurna”. Akan tetapi, bersamaan itu pula ilmu ekonomi semakin menampakkan karakter mekanis dengan menciptakan rumus-rumus dan teori-teori matematis guna menjelaskan berbagai fenomena sosial masyarakat yang berkaitan dengan aspek-aspek ekonomi. Padahal, semula diciptakannya rumus-rumus dan teori-teori matematis ekonomi_yang diilhami oleh kegemilangan fisika mekanik Newton_ tidak lain bertujuan untuk menyediakan piranti lunak (software) untuk kebutuhan analisis dan menjelaskan fenomena ekonomi, kemudian memberikan solusi yang tepat bagi berbagai problem yang muncul. Namun, tanpa disadari dengan kecenderungan ke arah matematis dan mekanis tersebut timbul persoalan-persoalan baru pada internal ilmu ekonomi itu sendiri.
Di antara persoalan yang muncul adalah; kekakuan dan keterbatasan teori-teori ekonomi modern dalam menelisik aspek “humanis” dan “etis” dari perilaku manusia yang menjadi obyeknya. Apa yang terjadi berikutnya dapat ditebak, reduksi besar-besaran dalam memandang perilaku ekonomi seseorang (dan masyarakat). Penyebabnya tidak lain berupa kesenjangan teori pada satu sisi_yang sudah terlanjur dianggap sempurna dan final_dengan sifat dinamis perilaku dan fenomena ekonomi.
Gejala semakin renggangnya ekonomi dengan etika tidak bisa lepas dari bagaimana sejarah kelahiran ekonomi modern itu sendiri. Ekonomi konvensional, lahir dari paradigma enlightenment yang ditandai dengan pendekatan utama untuk mewujudkan kesejahteraan manusia serta analisisnya tentang problem-problem manusia yang bersifat sekuler. Sekuler di sini dimaksudkan sebagai lebih mementingkan konsumsi dan pemilikan materi sebagai sumber kebahagiaan manusia, tanpa mengindahkan peranan nilai moral dalam reformasi individu dan sosial, terlalu berlebihan menekankan peranan pasar atau negara. Ia tidak memiliki komitmen kuat kepada persaudaraan (brotherhood) dan keadilan sosio-ekonomi dan tidak pula memiliki mekanisme filter nilai-nilai moral.
Berdasarkan konsep yang demikian, impelementasi sistem ekonomi kapitalisme di berbagai belahan dunia, justru menimbulkan kenyataan-kenyataan tragis. Data World Bank masih menunjukkan akan hal itu. Di Asia Timur pada tahun 1990, hampir 170 juta anak laki-laki dan perempuan putus sekolah pada tingkat sekolah menengah. Di Asia Tenggara dan Pasifik lebih sepertiga anak-anak berusia di bawah lima tahun mengalami kekurangan nutrisi. Hampir satu juga anak-anak di Asia Timur mati sebelum berumur lima tahun. Lebih dari 100 juta orang di negara-negara industri hidup di bawah garis kemiskinan dan lebih dari lima juta orang menjadi tunawisma.
Di balik kemajuan ilmu ekonomi yang begitu pesat, penuh inovasi, dilengkapi dengan Metodologi yang semakin tajam, model-model matematika dan ekonometri yang semakin luas untuk melakukan evaluasi dan prediksi, ternyata ilmu ekonomi tetap memiliki keterbatasan untuk mengambarkan, menganalisa maupun memproyeksikan kecenderungan tingkah laku ekonomi dalam perspektif waktu jangka pendek. Meminjam istilah Chapra, ilmu ekonomi konvensional telah mencapai taraf sofistifikasi intelektual secara sempurna. Akan tetapi bersamaan dengan itu ia mengalami kegagalan besar dalam membantu manusia dalam merealisasikan sasaran humanitariannya seperti keadilan dan kesejahteraan umum. Kegagalan ini, menurut Chapra disebabkan oleh anatema ilmu ekonomi terhadap penilaian (value judgement) dan penekanan yang berlebihan pada maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan individual (self interest). Hal ini tentu berlawanan dengan dasar filosofi mayoritas agama. Agama-agama pada umumnya sekalipun memandang penting pemenuhan kebutuhan materiil, akan tetapi bukan sebagai tujuan utamanya. Pada intinya, Chapra hendak menyatakan bahwa kegagalan ekonomi konvensional lebih disebabkan oleh pengabaiannya terhadap nilai-nilai, norma, agama dan etika.
Faktanya, ilmu ekonomi konvensional saat ini didominasi oleh penekanannya pada apa yang telah disepakati sebagai variabel-variabel ekonomi dalam menjelaskan jatuh-bangunnya suatu masyarakat. Tentu saja penjelasan yang demikian merupakan simplifikasi dari sekian banyak faktor yang saling berkaitan dengan kondisi sosial masayarakat. Padahal, seharusnya di samping variabel-variabel ekonomi, perlu juga memasukkan faktor-faktor moral psikologis, sosial, politik dan sejarah yang mempengaruhi manusia. Dengan kata lain perlu kajian lintas disiplin.
Atas kenyataan inilah, belakangan muncul ide dari banyak kalangan untuk mengembalikan ilmu ekonomi pada sifat humanisnya, sebagaimana ketika dulu ia dimunculkan oleh pemikir-pemikir sosiologi besar seperti Adam Smith dan Max Weber dan sebagainya. Hans Kung misalnya, melalui bukunya yang bertitel A Global Ethics for Global Politics and Economics mencoba menawarkan apa yang ia sebut dengan “etika global” (global ethics), sebagai pemecah kebuntuan yang dihadapi ilmu politik dan ekonomi modern. Demikian pula Firtjof Capra yang menulis sebuah buku berjudul The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture , dimana meskipun tidak berhasil memberikan solusi konkret tentang etika apa yang diperlukan untuk keluar dari permasalah yang dihadapi sistem ekonomi modern, tetapi paling tidak dia telah menggugah kesadaran akan betapa pentingnya memasukkan dimensi etis dalam ekonomi.
Hazel Henderson mengungkapkan ketidak setujuannya pada sistem ekonomi modern yang semakin jauh dari etika. Kritiknya tertuang dalam sebuah buku yang ia tulis sendiri dengan judul The End of Economics. Bahkan pada tahun 1971, Arthur Burns, seorang ekonom Amerika menyatakan bahwa aturan-aturan ekonomi modern tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Karenanya ia mengakui ekonomi modern telah dihadapkan pada jalan buntu. Demikian pula Milton Friedman menyatakan hal yang serupa. Menurutnya para ahli ekonomi modern telah menciptakan kerusakan besar terhadap masyarakat umum. Semua itu dikarenakan paradigma ekonomi modern yang bertumpu pada pendekatan reduksionis dan parsial.
Tidak ketinggalan para islamist juga melemparkan pandangan kritis mereka dalam menilai ekonomi konvensional. Dalam pandangan Khurshid Ahmad, ilmu ekonomi (konvensional) dewasa ini ditandai dengan dua ciri utamanya, yaitu; Pertama, ia berkembang sebagai suatu disiplin yang terintegrasi, di sekitar inti kepentingan individual, usaha privat, mekanisme pasar dan motif mencari keuntungan, berusaha memecahkan semua persoalan ekonomi dalam matriks kerangka individual ini. Kedua, paradigma ini pada hakikatnya telah memutus hubungan antara ilmu ekonomi dengan persoalan-persoalan transendental dan perhatian terhadap etika, agama dan nilai-nilai moral. Pendekatan ekonomi modern bersifat sekular, materialistis, positivistik dan pragmatis. Pertimbangan-pertimbangan normatif secara sistematis disingkirkan sedemikian rupa sehingga relevansinya dianggap menimbukkan persoalan baru. Karena pengaruh inilah ilmu ekonomi semakin menjauh dari akar filosofi etika dan menjadi suatu jaringan dari hubungan mekanis yang mudah sekali dijadikan sebagai alat kuantifikasi dan prediksi. Efisiensi dan penciptaan kekayaan menjadi konsep utamanya. Sebagai konsekuensinya, pertimbangan-pertimbangan tentang keadilan dan kebahagiaan yang merupakan bagian integral dari proses pembuatan keputusan dalam fase-fase terdahulu dikerdilkan dan dipudarkan.
Menurut Khurshid Ahmad, pendekatan dan upaya-upaya ekonomi pada masa lalu berjalin erat dengan aspek moral manusia, persepsi kultural dan keagamaan. Kepentingan individu, penciptaan kekayaan dan hubungan kepemilikan tetap menjadi sentral bahkan setiap kultur dan kerangka etika agama memiliki etos moralnya sendiri. Karena itulah ia menyerukan agar ekonomi dikembalikan pada karakter awalnya dimana ia sangat erat berjalin dengan sistem etika.
“Pada akhirnya, inti tawaran-tawaran tersebut menyiratkan bahwa kesadaran akan arti penting dimensi humanis-etis dalam wilayah ekonomi sudah sejak lama disadari oleh para pakar ekonomi sendiri.”
2. Menggeser Paradigma Ekonomi Islam Menjadi Ekonomi Etis
Bagaimana bentuk bangunan epistemologi ekonomi etis itu sendiri? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dihadapkan pada perdebatan antara aspek rasionalitas versus moralitas dalam masalah ekonomi. Perdebatan ini pada akhirnya mengerucut pada apa yang disebut dengan Ekonomi Moral (EM) dan Ekonomi Rasional (ER).
Perbedaan pandangan yang terjadi antara EM dengan ER sebenarnya berakar pada pandangan filosofis keduanya tentang manusia, serta temuan empiris yang memperlihatkan perbedaan pola-pola perilaku wirausahawan (entrepeneur), sebagai pelaku ekonomi. Penganut EM menggunakan model filosofis tentang manusia yang biasa disebut moral model. Ilmu ekonomi dengan dasar seperti ini sering disebut cultural economics (ekonomi budaya). Dalam analisis Scott tentang perilaku petani Asia Tenggara, model ini memusatkan perhatian pada apa yang dipikirkan dan diyakini oleh petani mengenai dunia mereka, pada pandangan hidup digunakan untuk memahami dan menjelaskan tindakan-tindakan mereka. Di sini moral memainkan pernanan penting. Motivasi-motivasi moral seseorang dianggap dibentuk oleh cultural specific belief systems and values. Perilaku manusia dan pilihan-pilihan yang dibuatnya dianggap dibimbing oleh a desire to do what is right, dimana nilai moral ini bersumber pada suatu kosmologi, yakni a culturally patterned view of the universe and the human place within it . Menurut perspektif ini manusia yang bermoral adalah the believers atau orang-orang beriman yang tindakan-tindakannya selalu dibimbing oleh ideas of right and wrong yang mereka pelajari, ketahui dan terima ketika mereka tumbuh dewasa. They have a moral sense grounded in a view of the way the world works. Jadi di sini ada asumsi bahwa jagad moral manusia menentukan atau mempengaruhi perilaku dan pilihan-pilihan yang dijatuhkan oleh manusia .
Berkenaan dengan perbedaan pola perilaku antara petani dan wirausahawan, Schejtman (1984) mengemukakan bahwa hal itu terlihat terutama pada perilaku atau sikap mereka dalam menghadapi resiko, dalam risk internalization-nya. Seorang wirausahawan memandang resiko atau ketidak pastian yang bergandengan dengan keuntungan dapat dipandang sebagai fungsi-fungsi dari probabilitas. Fungsi-fungsi ini memaksanya menemukan a degree of propornationality between profit and risk. Dengan kata lain, di balik resiko usaha selalu tersembunyi keuntungan yang mungkin sangat besar dan dapat diraih, asal seseorang dapat mengambil keputusan atau menentukan strategi yang tepat.
Sedangkan perilaku petani menurut Schejtman; vulnerability to effects of an adverse result is so extreme that…it seem appropriate to take the view that his behavior as a producer is guided by a kind of “survival algorithm” which leads him to avoid risk despite the potential profits which would arise if he accepted them. Survival algorithm. Perilaku inilah yang dalam tulisan Scott disebut sebagai prinsip “utamakan selamat” (safety first) dan dianggap juga oleh Schejtman sebagai sebuah ketidakrasionalan (irrationality), karena berbeda dengan rasionalitas yang ada di kalangan wirausahawan. Dalam analisis Schejtman dikatakan bahwa gejala-gejala empiris yang ada dalam ekonomi petani dianggap tidak rasional bila menganut anggapan adanya suatu universal rationality. Masalahnya kemudian adalah, tepatkah asumsi tersebut? Jangan-jangan rasionalitas yang dimaksud adalah rasionalitas yang ada dalam pertanian komersial atau dalam masyarakat kapitalis saja? Jika memang demikian, dapatkan ia dianggap sebagai sesuatu yang universal?
Pandangan filosofis EM di atas berlawanan dengan pandangan yang terdapat dalam ER yang menjadi dasar studi Popkin mengenai petani Asia Tenggara. Popkin menggunakan pendekatan yang dia sebut sebagai pendekatan “ekonomi politik” (political economy), tetapi bukan ekonomi-politik sebagaimana biasa dipahami dalam ilmu ekonomi pembangunan. Popkin beranggapan bahwa manusia adalah homo economicus atau pelaku yang rasional yang selalu melakukan perhitungan, terus-menerus memperhitungkan bagaimana di tengah situasi yang dihadapi dia dapat meningkatkan kehidupan dan kesejahteraannya atau paling tidak mempertahankan tingkat kehidupan yang tengah dinikmatinya .
Bagi Popkin asumsi tersebut lebih kokoh sebagai dasar kajian daripada pandangan romantis tentang manusia komunal (communal man) yang digunakan oleh Scott atau penganut pandangan EM lainnya. Popkin juga berasumsi bahwa meskipun para petani pada umumnya miskin dan hidup dekat dengan batas minimum (close to the margin), namun tetap ada saat-saat dalam kehidupan mereka ketika mereka memang memiliki surplus dan berani menanamkan modal walaupun penuh dengan resiko. Dalam pendekatan ini Popkin emphasizes individual decision making and strategic interaction .
Jelas bahwa Popkin menggunakan pendekatan keputusan. Dalam hal ini dia mengikuti analisis ilmu ekonmi yang mengasumsikan adanya sejumlah pelaku dengan tujuan-tujuan tertentu. Di sini dia berupaya mengetahui bagaimana pelaku-pelaku ekonomi akan bertindak ketika menghadapi berbagai pilihan, dengan asumsi bahwa mereka mengejar tujuan secara rasional. Artinya para pelaku ekonomi evaluate the possible outcomes associated with their prefferences and values. In doing this, they discount the evaluation of each outcome in accordance with their subjective estimate of the likelihood of the outcome”. Asumsi yang lain adalah they make the choice wich they believe will maximize their expected utility .
Mengenai petani, Popkin beranggapan bahwa seorang petani; Pertama, memperhatikan kesejahteraan dan keamanan diri dan keluarganya. Apapun nilai-nilai dan tujuan hidupnya, dia akan bertindak in a self interested manner ketika dia memperhitungkan kemungkinan memperoleh hasil yang diinginkan atas dasar tindakan-tindakan individual. Kedua, hubungan petani dengan pihak lain tidak selalu didasarkan pada beberapa prinsip moral yang umum, tetapi pada kalkulasi apakah hubungan-hubungan semacam itu dapat atau mungkin menguntungkan diri dan keluarganya, ataukah tidak. di sini konsep atau sosok petani yang pasrah dan hampir selalu tunduk pada aturan-aturan sosialnya diganti dengan konsep manusia (petani) ekonomis yang universal (universalized econmomic man) yang mengambil keputusan di tengah sejumlah kendala dan tantangan.
Debat tentang perilaku petani antara penganut EM dan ER di atas akhirnya tidak memenangkan salah satu pihak, tetapi membuka semacam jalan tengah yang mengakui kebenaran masing-masing. Menurut pandangan “poros tengah” ini, EM yang dikemukakan Scott pada dasarnya juga dapat dikatakan sebagai ER, namun rasional dalam konteksnya sendiri, atau bisa juga rasional dalam arti bahwa meskipun petani menentukan pilihan berdasarkan moralnya, hal itu sebenarnya merupakan suatu bentuk rasionalitas juga. Di lain pihak, suatu pilihan yang tampak rasional pada dasarnya adalah juga sebuah pilihan yang berdasarkan moralitas tertentu. Berangkat dari perdebatan di atas, ekonomi etis berusaha menjembatani antara aspek rasionalitas dan moralitas dalam ekonomi.
Di Indonesia, nama Mubyarto sudah sejak lama dikenal sebagai pakar ekonomi yang mengusung “ekonomi pancasila” sebagai rumusan “ekonomi-etis”. Gambaran tentang ekonomi yang berjalin erat dengan etika sebagai watak dasarnya inilah yang disebut oleh Mubyarto dengan istilah “ekonomi etis”, yaitu “ilmu ekonomi yang tidak mengajarkan keserakahan manusia atas alam benda, tetapi justru mampu mengajar manusia untuk mengatur dan mengendalikan diri”. Dengan perkataan lain, ekonomi etis berbeda dengan paradigma konvensional, tidak mengacu pada sifat manusia sebagai homo economicus yang cenderung serakah, sebaliknya sebagai manusia etik yang utuh atau manusia seutuhnya. Manusia etik yang utuh selalu berusaha mengendalikan pemenuhan kebutuhan sampai batas-batas yang pantas dan wajar sesuai ukuran-ukuran sosial dan moral.
Pertanyaannya adalah; sistem etika mana dan seperti apa yang akan dijadikan sebagai pijakan? Cukup menarik pernyataan Scott di atas, bahwa pelaku ekonomi moral adalah the believers atau orang-orang beriman. Artinya, jika pandangan Scott ini dijadikan parameter, maka pertanyaan di atas sudah terjawab dengan sendirinya. Etika yang dimaksud tidak lain adalah etika agama. Tetapi, bukankah setiap agama mengajarkan sistem etikanya masing-masing? Jika demikian, etika agama yang mana yang akan dipakai?
Tanpa bermaksud apologis, etika yang dipilih sebagai landasan ekonomi etis di sini adalah etika Islam. Sebab, dibandingkan dengan sistem etika manapun etika Islam adalah satu-satunya yang menjaga keseimbangan antara aspek diniawi dan ukhrawi. Ajaran-ajaran etika Islam tidak semata-mata mengarahkan penganutnya untuk tunduk secara absolut di bawah kehendak Tuhan. Pada sisi lain Islam juga tidak memberikan kebebasan tanpa batas kepada manusia dalam berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomiknya. Banyak dijumpai ayat al-Qur’an maupun hadis yang mengajarkan agar antara kedua aspek tersebut dijalankan secara berimbang. Munculnya perdebatan antara EM dengan ER dikarenakan adanya penempatan aspek rasionalitas dan moralitas pada dua kutub yang saling bertentangan. Padahal, jika keduanya diletakkan secara sejajar, mestinya pertentangan itu tidak terjadi. Dan pandangan yang berhasil meletakkan rasionalitas dan moralitas secara berimbang adalah ajaran etika Islam.
Untuk mengurai masalah ini lebih jauh, ada baiknya mendiskusikan ulang sekilas perbandingan sistem etika agama-agama yang ada dalam kaitannya dengan ekonomi. Di sini penulis akan menyampaikan sekilas penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa sarjana semacam Weber, Geertz dan beberapa sarjana muslim.
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa Weber pernah melakukan penelitian tentang etika ekonomi dalam agama protestan serta agama-agama non-Barat seperti Konfusianisme dan Taoisme di Cina, Hinduisme dan Budhisme di India, Judaisme Klasik dan Islam. Dalam kesimpulannya, Weber menyatakan bahwa pemeluk agama-agama non Barat yang dia bahasakan dengan masyarakat pra-industri, sejatinya telah memiliki infrasrtruktur teknologi dan prasyarat-prasyarat penting lainnya untuk memulai kapitalisme dan ekspansi ekonomi, dimana infrastruktur dan prasyarat-prasyarat tersebut termanifestasikan dari ajaran etika agamanya. Sayangnya, kapitalisme tetap gagal untuk tumbuh dan berkembang.
Konfusianisme oleh Weber digambarkan sebagai doktrin dan ritus yang dipaksakan terhadap masyarakat Cina oleh kelas birokrat atau literati. Etika Konfusianisme mencakup etika konvensi dan kontrol diri yang masih terikat dengan masalah-masalah praktis demi kepentingan birokratis. Dalam aktualisasinya, etika ini mendorong para pemeluknya untuk mengembangkan seni kaligrafi yang rumit, tetapi tidak mengandung perkembangan dalam penalaran. Etika ini mengabaikan konflik dan lebih menekankan pada terciptanya “harmoni”. Keselamatan seseorang terletak pada pembebasan orang tersebut dari perilaku barbar dan stagnasi. Sedangkan satu-satunya dosa adalah dosa yang dilakukan terhadap otoritas yang lebih tua (tinggi), seperti nenek-moyang, atasan, dan adat-tradisi. Kebalikannya, kebajikan adalah kesehatan, panjang umur, kekayaan dan nama baik setelah mati.
Sekalipun etika Konfusianisme mengandung semangat untuk meraih kekayaan yang besar dan menggunakannya untuk kesempurnaan moral, mengajarkan harmoni dan kebebasan berusaha dan memilih usaha, tetap saja masih jauh dari spirit kapitalis. Hal ini menurut Weber dikarenakan Cina tidak mampu menerapkannya untuk mengembangkan aktivitas bisnis secara terorganisir dan sistem moneter yang baik.
Sedangkan ajaran etika Taoisme dan Budhisme malah dengan terang-terangan menarik diri dari hal-hal yang bersifat keduniaan. Ini dikarenakan yang menjadi tujuan akhir dalam ajaran kedua agama tersebut berupa penyatuan pada sifat adikodrati. Pemeluk kedua agama ini lebih mementingkan hal-hal yang bersifat magis, karena hal-hal inilah yang dianggap bertanggung atas nasib dan takdir manusia di bumi, seperti kesejahteraan materi dan lain sebagainya. Untuk mempengaruhi kekuatan magis tersebut, perlu diadakan ritual pemujaan.
Dalam ranah etika Islam, al-Ghazali merupakan salah satu nama dari sekian banyak tokoh di bidang tersebut yang paling populer. Sementara itu dalam studi etika modern, Max Weber dapat dianggap sebagai peletak dasar pandangan yang mengaitkan secara langsung antara etika agama dengan ekonomi. Kajiannya yang mengaitkan antara etika agama dengan ekonomi diuraikan dalam salah satu tesisnya yang terkenal, "etika Protestan" (Protestant ethic). Baik al-Ghazali maupun Weber memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam perkembangan studi etika pada umumnya dan etika ekonomi secara khusus. Karena itu, penting untuk mengulas pemikiran kedua tokoh tersebut untuk mendapatkan landasan epistemologis yang kuat bagi ekonomi etis.
Protestant ethic merupakan klimaks dari pemikiran Weber dimana dalam tesis tersebut Weber membicarakan tentang korelasi antara dua konsep, "Protestanisme" dan "Kapitalisme". Weber membangun tesisnya setelah melakukan pengamatan ilmiah tehadap salah satu sekte dalam agama Protestan, yaitu Calvinisme.
Dua kata kunci untuk memahami Protestant Ethic-nya Weber adalah "Rasionalitas" (Rationalitat) dan "Reformasi". Rasioalitas yang dimaksud oleh Weber bermakna rasionalitas yang merembes ke dalam semua bidang perilaku sosial, organisasi buruh dan manajemen, ilmu-ilmu kreatif, hukum dan ketertiban, filsafat dan seni, negara dan politik, serta bentuk-bentuk dominan kehiduban privat. Rasionalitas ini didorong oleh dinamika internalnya sendiri setelah menundukkan setiap bentuk perlawanan yang diberikan oleh fitrah manusia pra-rasional, magis dan tradisi, instink dan spontanitas. Rasionalitas Weber mengandung pengertian keseluruhan dari sikap terhadap kehidupan yang dikondisikan oleh banyak hal namun tetap unik dan menjelma sebagai "etos Barat". Pada gilirannya, etos normatif ini dimanifestasikan dalam "semangat Kapitalisme burjois.
Untuk membentuk sikap rasional tersebut serta mentransformasikannya menjadi semangat Kapitalisme, Weber menawarkan suatu langkah yang disebut dengan "reformasi". Reformasi menangandung pengertian sebagai upaya untuk menembus sisi gelap keyakinan-keyakinan pra-rasional tersebut berupa sikap hidup irrasional, ketertundukan mutlak dan seterusnya, kemudian menggantinya dengan sikap kritis dan ilmiah. Ini bukan berarti Weber menolak sama sekali agama, sebaliknya ia menghormati apa yang dia sebut nilai-nilai moral dan etisnya. Inilah yang dimaksud dengan reformasi oleh Weber dan sekaligus berfungsi sebagai simpul penghubung antara teori ekonomi pada satu ujung dengan dokrin agama pada ujung lainnya. Meskipun disadari bahwa tipe ekonomi tertentu sebenarnyalah bukan produk langsung dari suatu keyakinan agama tertentu, akan tetapi sikap rasionalitas yang dikembangkan dari nilai-nilai agama dapat menumbuhkan sikap kritis dan rasionalitas pemeluknya, serta menjadi faktor penting bagi pembentukan suatu sistem (dan ilmu) ekonomi yang progresif.
Dari penjelasan tersebut, yang perlu diperhatikan dalam pembacaan terhadap Protestant Ethic-nya Weber adalah bahwa ia tidak berbicara tentang Kapitalisme sebagai sebuah faham, idiologi atau aliran dalam ekonomi. Yang menjadi pusat perhatian Weber adalah "semangat Kapitalisme". Demikian juga halnya Weber tidak berbicara tentang Protestan sebagai agama atau doktrin teologis, tetapi tentang "etika protestan". Dalam konteks ini, kata "Kapitalisme" atau "semangat Kapitalisme" digunakan dalam pengertian seluruh struktur budaya yang mengatur sikap hidup masyarakat Barat, dimana modus operasi ekonominya menjadi bagian dari suatu sistem budaya yang teramat kompleks.
Pendapat al-Ghazali tentang ilmu ekonomi dapat dilacak melalui klasifikasinya terhadap cabang-cabang ilmu pengetahuan. Ia mengklasifikasi ilmu pengetahuan menjadi beberapa katergori. Dari beberapa tulisannya, antara lain kita>b al-‘ilm dalam Ih}ya>, ar-Risa>lah al-Ladu>niyyah, Mi>za>n al-‘Amal dan Jawa>hir al-Qur’a>n dapat ditemukan empat sistem klasifikasi ilmu yang berbeda-beda, yaitu; ilmu teoritis dan praktis; ilmu h}ud}u>ri> dan ilmu h}us}u>li>; ilmu syar’iyyah dan ilmu ‘aqliyyah, serta ilmu-ilmu fard}u ‘ain dan fard}u kifa>yah.
Dari keempat sistem klasifikasi ilmu tersebut, al-Ghazali menempatkan ilmu ekonomi ke dalam klasifikasi ketiga sekaligus keempat. Aspek lain yang turut mewarnai pemikirannya adalah pandangannya tentang keterkaitan antara tashawuf dan fiqh. Sebagaimana diketahui, dia dianggap sebagai tokoh yang berjasa besar dalam memadukan unsur-unsur tashawuf dan fiqh dengan jalan mendekonstruksi tashawuf menjadi dua bagian, yaitu tashawuf yang mengkaji ilmu-ilmu mu’a>malah dan yang lain mengkhususkan pada ilmu-ilmu muka>syafah. Ilmu mukasyafah dibedakan menjadi dua macam, yaitu yang disebut dengan z}a>hir (external knowledge) dan ba>t}in (internal knowledge). Yang pertama menjadi pokok kajian dalam kitab Ih}ya>, sedangkan yang kedua menjadi pokok kajian dalam karya-karyanya yang lain seperti Misyka>h al-Anwa>r. Menurut al-Ghazali tashawuf yang mengkaji ilmu-ilmu mu’amalah memilih obyek kajian yang sama dengan ilmu fiqh, yaitu seputar kewajiban-kewajiban agama. Tetapi perspektif yang dipakai berbeda. Jika ilmu fiqh memfokuskan pada aspek pelaksanaan jasmaniah, maka tashawuf lebih kepada aspek pelaksanaan spiritualnya.
Ketika berbicara tentang obyek materialnya, al-Ghazali mengkategorikan ekonomi Islam sebagai bagian dari ilmu-ilmu syar'iyyah. Sedangkan ketika berbicara kerangka hukumnya, dikategorikan ke dalam ilmu-ilmu dengan kategori fard}u 'ain. Al-Ghazali menyatakan bahwa hukum mempelajari ilmu ekonomi adalah wajib bagi setiap muslim yang bekerja (kullu muslim muktasab) sebagaimana kewajiban menuntut ilmu yang lain. Hukum wajib mempelajari ilmu ekonomi (iqtis}a>d) ini terkait erat dengan tujuannya, yaitu untuk menghindari kesulitan dalam bermu’amalah dan hal-hal yang dapat menjerumuskan kepada larangan-larangan agama.
Al-Ghazali sendiri tidak menggunakan istilah ekonomi, melainkan sebagaimana kebanyakan tokoh ekonomi Islam sesudahnya, lebih memilih istilah ‘ilm al-kasb (ilmu tentang tata cara mencari rizqi), ‘ilm al-‘uqu>d (ilmu tentang tata-cara melakukan kontrak dalam Islam) dan iqtis}a>d. Istilah terakhir belakangan menjadi populer di kalangan para pemikir ekonomi Islam sebagai sebutan yang paling tepat daripada ekonomi Islam. Kata iqtis}a>d yang berasal dari kata qas}ada mempunyai arti “seimbang” (equilibrium, balanced) dan tengah-tengah (in between). Dalam al-Qur'an istilah iqtis}a>d disebutkan sebanyak enam kali.
Dalam pembacaan terhadap ekonomi Islam, al-Ghazali meniscayakan keterlibatan tiga kategori konstruk nalar. Konstruk nalar yang dimaksud adalah nalar syar’iyyah, nalar falsafiyah dan nalar s}u>fiyah. Ketiganya merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan bukan merupakan suatu susunan hierakis. Namun demikian masing-masing mempunyai dominasi tertentu dalam pemakaiannya. Nalar syar’iyyah berperan ketika membahas masalah-masalah yang terkait erat dengan hukum Islam (fiqh) dan us}u>l fiqh sebagai kerangka formil ekonomi Islam, seperti ketika hendak melakukan interpretasi terhadap al-Qur’an, sunnah dan teks-teks keagamaan yang lain (a>s|ar, khabar dan pendapat para ‘ulama). Nalar falsafiyah jelas berperan dalam menganalisis aspek logikanya. Sedangkan nalar s}u>fiyah erat kaitannya analisis aspek normatif-etis ekonomi Islam. Dengan mengikuti anatomi bangunan ilmu ekonomi, ketiga nalar tersebut dapat dipergunakan dengan struktur sebagai berikut; Nalar syar’iyyah berbicara tentang aspek legal formal ekonomi, nalar falsafiyah berbicara pada aspek filosofis ekonomi dan nalar s}u>fiyah dipergunakan untuk membahas aspek normatif dan aspek transendensi ekonomi.
Penggunaan ketiga nalar tersebut dalam membahas ekonomi sejalan dengan konstruksi ekonomi Islam yang oleh para ekonom Islam sedang dibangun dewasa ini, bahkan lebih menyentuh pada aspek yang paling fundamental. Sebab, ketika membahas ekonomi al-Ghazali tidak membatasi diri ada aspek-aspek luarnya saja, tetapi mengaitkannya dengan aspek-aspek lain yang lebih mendasar. Sebagai contoh, ketika berbicara tentang motif-motif ekonomi masyarakat, ia mendasarkan pada pandangannya terhadap eksistensi manusia sebagai homo-economicus sekaligus makhluk religius. Menurutnya, manusia dilahirkan dengan membawa naluri untuk melakukan kegiatan ekonomi. Hal ini didorong akan upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (al-isytiga>l ad-dunyawiyah), yaitu kebutuhan akan makan, tempat tinggal dan pakaian. Selain itu ia tidak dapat hidup sendiri tanpa ketergantungan pada orang lain. Karena itu memerlukan hidup bermasyarakat bahkan bernegara. Keinginan untuk hidup bermasyarakat ini didorong oleh dua faktor, yaitu; melangsungkan keturunan dan memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi, seluruh rangkaian perilaku manusia itu harus dilaksanakan menurut aturan-aturan baku yang telah digariskan oleh agama melalui wahyu.
Tawaran al-Gazali di atas memberikan arahan yang jelas dan integral bagi teoretisasi ekonomi Islam melalui metode saintifikasi ajaran moral agama (Islam) di bidang ekonomi meliputi semua aspeknya. Ini berbeda dengan metode Islamisasi sebagaimana diajukan oleh berbagai kalangan. Sebab sebagaimana disebutkan di atas metode Islamisasi menanggung beban-beban ideologis yang sangat mungkin dapat mereduksi obyektifitas keilmuan yang dibangun. Hal ini dikarenakan oleh sulitnya memilah-milah bagian mana yang menjadi wilayah “imani” yang merupakan norma agama, serta mana yang menjadi wilayah keilmuan yang harus disikapi secara ktiris. Pencampur adukan kedua wilayah tersebut tidak jarang justru menggiring pada apa yang disebut Kuntowijoyo dengan “mistifikasi ilmu”, sebagaimana terjadi di dunia Islam selama ini.
C. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya teoretisasi ekonomi Islam dapat dimulai dengan melakukan redefinisi dan menggeser paradigma ekononi Islam menuju ekonomi etis melalui proses saintifikasi nilai moral ajaran Islam di bidang ekonomi. Jika tawaran al-Ghazali yang digunakan sebagai kerangka metodologisnya, maka langkah teoretisasi tersebut harus diawali dengan pemetaan tiga nalar berfikir, yaitu nalar syar’iyyah, nalar falsafiyyah dan nalar s}u>fiyyah. Dari ketiga nalar inilah dapat diderivasikan kerangka keilmuan ekonomi etis sebagai pengganti ekonomi Islam, baik dalam ranah legal-formal, ranah filsafat atau ilmiah serta ranah etisnya.
D. Daftar Pustaka
Ahmad Sherif, Muhammad., Ghazali Theory of Virtue, ed. 1, Albania: State University of New York Press, 1975.
Agustianto, Kegagalan Kapitalisme; Perspektif Ekonomi Islam; www.Waspada Online.com., diakses tanggal 9 Desember 2007.
Anwar, Syamsul, “Epistemologi Hukum Islam; Kajian terhadap Kitab al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul Karya al-Ghazali”, penelitian tidak diterbitkan. Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1997/1998.
Asy’arie, Musa, Islam; Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, cet. 1, Yogyakarta: LeSFI bekerjasama dengan IL, 1997.
Bakar, Osman., Hierarki Ilmu; Membangun Rangka-pikir Islamisasi Ilmu Menurut al-Farabi, al-Ghazali dan Qutb ad-Din as-Sirazi, alih bahasa Purwanto, Cet. 1, Bandung:Mizan, 1997.
Bartens. K., Pengantar Etika Bisnis, cet. 5, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Capra , Firtjof, The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture, New York: Bantam Book, 1997.
Chapra,, M. Umer, Masa Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam, terj. Ikhwan Abidin Basri, cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Al-Gaza>li>, Abu> H{a>mid Muh}ammad ibn Muh}ammad, Ih}ya> ‘Ulu>m ad-Di>n, Semarang: Syirkah Nu>r Asia, tt.
_________, Tah}a>fuf al-Fala>sifah , Sulaima>n Dunya> (ed), cet. 4, Mesir: Da>r al-Ma’a>rif, 1966.
Al-Hasani, Baqir dan Abbas Mirakhor (ed), Essays on Iqtisad; Islamic Approach to Economic problems, cet. 1, Silver Spring USA: NUR Corp, 1989.
Al-Isfaha>ni>, Ar-Ragi>b, Mufrada>t Alfa>z} al-Qur’a>n, ttp: Maktabah Murtad}awiyah, 1362 H.
Luethy, Herbert., "Sekali lagi: Calvinisme dan Kapitalisme" dalam dennis Wrong (ed.), Max Weber, Sebuah Khazanah, terj. A. Asnawi, cet. 1, Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003.
Mubyarto, “Etika Keadilan Sosial dalam Islam”, dalam Mubyarto dkk., Islam dan Kemiskinan, cet. , 1, Bandung: Penerbit PUSTAKA, 1988.
Mugniyah, Muh}ammad Jawwa>d, at-Tafsi>r al-Kasysya>f, Beirut: Da>r al-Fikr, 1968.
Nasution, Khoiruddin, "Wilayah Kajian dan Filsafat Ekonomi Islam”, jurnal Millah, Vol. II/2/Januari 2002.
Nugroho, Heru., “Rasionalisasi dan Pemudaran Pesona Dunia: Pengantar untuk Max Weber”, Ralph Schroeder, Max Weber; Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, cet. 1 Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Rahardjo, M. Dawam, Etika Ekonomi dan Manajemen, cet. 1, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1990.
________, “Sekapur-sirih tentang Aksiologi Ekonomi Islam”, dalam Syed Nawab Heidar Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi; Suatu Sintesis Islami, terj. Husin Anis dan Asep Hikmat, cet. 3, Bandung: Mizan, 1993.
Shri Ahimsa-Putra, Heddy, dkk., dalam Ekonomi Moral, Rasional, dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa; Esei-esei Antropologi Ekonomi, cet. 1, Yogyakarta: KEPEL Press, 2003.
Winardi, Ilmu Ekonomi dan Aspek-aspek Metodologisnya, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Rabu, 14 April 2010
Langganan:
Postingan (Atom)